WahanaNews.co | Pusat Riset Limnologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memaparkan penyebab kematian massal ikan di Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Peneliti Pusat Riset Limnologi BRIN, Fauzan Ali menyebut kematian ikan merupakan dampak dari menipisnya kandungan oksigen di dalam air.
Baca Juga:
Pemerintah Aceh Bagikan 7,5 Ton Ikan Segar Cegah Inflasi dan Stunting
"Oksigen itu tidak cukup lagi untuk menghidupi alga yang tumbuh di danau. Jadi bisa nol oksigenya. Akhirnya (ikan-ikan) mati," ujar Fauzan lewat sambungan telepon, Selasa (4/1) malam.
Fauzan menyebut banyak alga dan plankton yang hidup di dasar danau tersebut. Walhasil, kedua makhluk tersebut membutuhkan oksigen, terutama pada malam hari.
Minimnya kandungan oksigen dalam air di Danau Maninjau bukan tanpa alasan. Fauzan menjelaskan hal itu dipengaruhi maraknya pertumbuhan keramba jaring apung di wilayah danau.
Baca Juga:
Program Makan Gratis, Menteri KKP: Menu Ikan Harus Disesuaikan dengan Wilayahnya
Limbah dari pakan ikan yang jatuh ke permukaan air juga disebut turut menjadi faktor minimnya oksigen di dalam air. Ia menjelaskan ada proses mikrobiologi untuk mengurai sisa pakan ikan.
Proses tersebut dijelaskan Fauzan membutuhkan oksigen di dalam air, untuk mengurai sisa makanan dan kotoran menjadi amoniak, lalu dilepaskan ke permukaan air.
Dengan demikian, kandungan oksigen di dalam danau kian habis karena ekosistem di dalam air saling berebut oksigen. Tak ayal, ikan yang ada di karamba tidak kebagian oksigan dan berakhir mati.
Selain itu Fauzan juga menduga ada proses keluarnya kandungan gas alam yang masih terjadi di dalam danau, lantaran Danau Maninjau terbuat dari aktivitas vulkanik gunung api.
"Secara alamiah danau maninjau mengeluarkan belerang karena terbentuk oleh gunung berapi. Walaupun gunung api tidak aktif lagi tapi sisanya masih ada dan proses pengeluran gas juga masih ada," ujar Fauzan.
Menurutnya, jika ekosistem danau tak banyak diganggu oleh aktivitas manusia seperti ternak ikan karamba, maka air danau sebenarnya susah untuk menjadi buruk.
Sejak akhir tahun 80-an, Fauzan menyebut banyak masyarakat yang ternak ikan untuk kebutuhan ekonomi. Praktik kian menjamur, hingga puncaknya pada 2016 sampai 2018-an hasilkan 20 ribu karamba.
Kemudian setelah maraknya pertumbuhan karamba oleh masyarakat, para peneliti menyarankan batas maksimal karamba jaring apung. Yaitu sebanyak 6 ribu karamba.
Batas maksimal itu disebut Fauzan untuk menjaga ekosistem danau, agar tak makin parah kondisinya.
"Enam ribu itu pembagianya kami kaji dengan memperhitungkan kondisi kedalamanya, bagaimana kondisi arus, angin bertiup ke arah mana," katanya.
Namun demikian, keberadaan keramba jaring apung kian hari makin berkurang. Setidaknya berdasarkan laporan Fauzan, saat ini hanya ada sekitar 17 ribu keramba.
Dengan maraknya aktivitas ternak ikan menggunakan jaring apung, Fauzan mengungkap ikan endemik semakin jarang ditemui lantaran sulit berkembang biak.
Seperti contohnya ikan bada dan ikan riruak. Kedua jenis ikan itu merupakan hewan enedemik, yang hanya ada di Danau Maninjau.
"Beberapa tahun terakhir ini karena kualitas airnya jelek tadinya ikan masih ada sekarang makin sedikit. Harganya bisa ratusan ribu padahal dulu hanya puluhan ribu," tuturnya.
Sebelumnya 500 ton ikan di Tanjung Raya Danau Maninjau mati mendadak dan mengapung di atas permukaan air. Salah satu penyebab kematian itu diduga berkaitan dengan cuaca ekstrem yang melanda Sumbar.
Camat Tanjung Raya, Handria Asmi mengatakan matinya ikan di dalam KJA itu sudah terjadi beberapa waktu terakhir. Adapun penyebab kematian ikan diduga karena cuaca yang sering berubah-ubah. Kadang panas atau tiba-tiba hujan deras dengan angin kencang.
Cuaca buruk itu kata Handria juga disebabkan oleh musim pancaroba yang terjadi pada bulan November hingga Februari. Sehingga menimbulkan fenomena upweeling atau penurunan tekanan dan kenaikan air di dalam danau. [qnt]