WahanaNews.co | Korban pencabulan anak di Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh calon pendeta GMIT, terus bertambah.
Hingga Sabtu (10/9/2022) malam, korban bertambah menjadi 12 orang.
Baca Juga:
Diundang Meliput, Wartawan Malah “Diusir”, Ini Penjelasan Kapolda NTT
"Iya nambah [jadi 12 orang]," kata Kapolres Alor, AKBP Aro Satmoko, saat dihubungi wartawan, Sabtu (10/9/2022) malam.
Menurut Ari, ada tambahan enam orang korban setelah dilaporkan pada Sabtu sore.
Dari enam korban yang baru melapor tersebut, dua di antaranya dewasa dan empat anak berstatus pelajar.
Baca Juga:
Jalani Pemeriksaan Dugaan Pencabulan, Kapolres Sikka Nonaktifkan AKP FR
Sehingga, kata Ari, dari 12 korban, sepuluh adalah anak-anak berusia 13-16 tahun dan dua orang berusia 19 tahun.
"Dua orang dewasa, sepuluh anak-anak," kata Ari.
Tambahan enam korban tersebut setelah penyidik mendapat informasi dan melakukan pengembangan.
"Itu hasil pengembangan, sehingga ditemukan lagi enam korban yang mau melapor," kata Ari.
Ke-12 korban tersebut adalah warga Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur, Kabupaten Alor dan jemaat di Gereja Siloam Nailalang.
Enam korban yang baru melapor telah dimintai keterangan penyidik.
Jumlah saksi pun bertambah menjadi 23 orang yang telah selesai dimintai keterangan.
Dia menyampaikan, dari 12 orang korban, ada yang mengalami kekerasan seksual dan ada yang mengalami pelecehan seksual yang dilakukan tersangka Sepriyanto Ayub Snae (36) atau SAS, seorang vikaris atau calon pendeta GMIT yang sejak Desember 2021 melaksanakan praktek pelayanan di Gereja Siloam Nailalang.
Enam korban yang baru melapor akan menjalani Visum et Repertum pada Senin (12/9/2022).
Kasat Reskrim Polres Alor, Iptu Yames Jems Mbau, yang dihubungi wartawan secara terpisah menjelaskan, dari hasil pemeriksaan diketahui tersangka juga sempat merekam saat melakukan persetubuhan dengan korban-korbannya.
Video asusila tersebut, kata Yames, digunakan tersangka untuk mengancam para korban, sehingga aksi bejat dilakukan berulangkali terhadap para korban.
"Video yang direkam [tersangka] dipakainya untuk mengancam para korban. Dia mengancam akan menyebarkan jika para korban tidak mau bersetubuh dengannya," ujar Yames.
Tersangka disebut juga dijerat Undang-Undang ITE.
"Karena tersangka juga menyebarkan foto bugil dan video asusila korban," kata Yames.
Sebelumnya, Aparat Polres Alor, pada Senin (5/9/2022), menangkap dan menahan Sepriyanto, setelah diduga melakukan pencabulan terhadap enam orang anak yang berstatus pelajar.
Keenam korban tersebut adalah warga Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur, Kabupaten Alor.
Terbongkarnya kasus pencabulan oleh SAS setelah dilaporkan salah satu orangtua korban, yakni Aner Musa Lakatai, ke Polres Alor dengan Laporan Polisi nomor LP-B/277/IX/2022/SPKT /Polres Alor/Polda NTT tanggal 1 September 2022.
Polisi juga mengungkap motif Sepritanto karena tidak bisa menahan hasrat seksualnya.
Tersangka Sepriyanto, warga Jalan Perintis Kemerdekaan, RT 16, RW 05, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Oebobo, melakukan pencabulan terhadap enam anak saat menjalankan tugas pelayanan sebagai calon pendeta GMIT di Gereja GMIT (Gereja Injili di Timor) Siloam Nailalang, Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, NTT.
Pencabulan hingga persetubuhan yang dilakukan SAS kepada enam korban dilakukan di dalam kompleks gereja tempat SAS melaksanakan tugas pelayanan sebagai calon pendeta.
Perbuatan bejat tersangka SAS dilakukan dalam kurun waktu satu tahun, sejak Mei 2021 hingga Mei 2022.
Tersangka SAS bertugas sebagai Vikaris di Alor sejak Desember 2020 hingga Mei 2022 untuk menjalani masa vikaris.
Perbuatan tersangka mencabuli dan melakukan kekerasan seksual terhadap para korban dilakukan berulangkali tetapi para korban yang berusia 13 tahun hingga 15 tahun takut melapor karena diancam akan menyebarkan video asusila yang direkamnya dengan para korban.
Tersangka SAS dijerat dengan pasal Pasal 81 ayat 5 Juncto pasal 76D Undang-undang RI Nomor 35 tahun 2014 tetang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, sebagaimana diubah dengan undang-undang RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang, Jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.[gun]