WAHANANEWS.CO, Cirebon - Tragedi longsor di Galian C Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menewaskan 19 orang pekerja.
Peristiwa memilukan ini membuka kembali luka lama soal lemahnya pengawasan terhadap sektor pertambangan di daerah.
Baca Juga:
Korban Longsor Galian C Bertambah, Tim SAR Temukan 2 Jenazah Hari Ini
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyoroti peristiwa tersebut sebagai bukti nyata minimnya peran pemerintah dalam memastikan aktivitas tambang berjalan sesuai aturan.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin Iwang, menegaskan bahwa insiden ini mencerminkan buruknya tata kelola tambang di wilayah tersebut.
"Gunung Kuda bukan satu-satunya insiden yang memakan korban jiwa. Ini menunjukkan bahwa praktik tambang di Jawa Barat masih jauh dari profesional dan abai terhadap standar keselamatan," ujar Iwang saat dihubungi, Minggu (1/6/2025).
Baca Juga:
Tiga Anjing Pelacak Dikerahkan Bantu Temukan Korban Longsor di Tambang Gunung Kuda
Menurutnya, pengawasan seharusnya dilakukan sejak awal, bukan setelah korban berjatuhan.
Ia juga mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dalam mengevaluasi kesesuaian antara dokumen izin tambang dengan kondisi lapangan.
"Apakah pemerintah benar-benar mengawasi kesesuaian antara praktik di lapangan dengan isi dokumen? Ini yang tidak jelas dan luput dari pengawasan. Begitu ada korban, baru kebakaran jenggot. Ini cerminan bahwa fungsi kontrol pemerintah lemah," tegasnya.
Walhi mengungkap bahwa banyak perusahaan tambang hanya fokus pada legalitas perizinan, sementara aspek keselamatan kerja kerap diabaikan.
Padahal, lanjut Iwang, ada dokumen penting yang wajib ditaati seperti Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
"Yang jadi sorotan kami itu adalah para pelaku usaha meletakkan dokumen perizinan sebagai legalitas untuk berkegiatan. Jauh lebih penting dari itu adalah komitmen terhadap dokumen lingkungan yang harus dilaporkan secara berkala," jelasnya.
Temuan Walhi di lapangan juga menunjukkan adanya pelanggaran teknis oleh sejumlah perusahaan, mulai dari penggunaan alat berat yang tidak sesuai hingga operasional yang melebihi batas waktu.
"Dalam dokumen disebutkan alat yang digunakan misalnya adalah A, kemudian jam beroperasi delapan jam sehari. Tetapi di lapangan pakai alat B dan bekerja 24 jam nonstop," ungkap Iwang.
Bencana longsor itu juga menyebabkan tujuh orang mengalami luka-luka, dan enam lainnya masih dinyatakan hilang.
Menanggapi tragedi ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah mencabut empat izin dari tiga perusahaan tambang yang beroperasi di Gunung Kuda.
Langkah ini diklaim sebagai bentuk sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi.
"Saya sudah menutup semua tambang dan izinnya sudah dicabut sejak malam. Saya minta Pemerintah Kabupaten Cirebon segera mengubah tata ruang wilayahnya, dan meminta Perhutani mencabut seluruh ASO serta mengembalikannya menjadi kawasan hutan," ujar Dedi.
Tragedi Gunung Kuda menjadi pengingat keras bahwa pembiaran dalam pengawasan tambang bisa berujung pada bencana kemanusiaan.
Pemerintah daerah diminta tidak lagi hanya bereaksi setelah jatuh korban, melainkan aktif mencegah sejak awal.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]