SETIAP 25 November, bangsa ini diselimuti retorika tentang guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa." Namun, perayaan tahunan ini terasa hampa di tengah paradoks eksistensial yang menggerogoti profesi tersebut.
Di satu sisi, guru dituntut menjadi agen perubahan dan inovator. Di sisi lain, otoritas moral dan pedagogis mereka terus terkikis, bahkan terancam kriminalisasi.
Baca Juga:
Pemprov Jabar Keluarkan Edaran agar Guru Tak Terapkan Hukuman Fisik Kepada Siswa
Krisis ini bukan isapan jempol. Berulang kali kita menyaksikan guru dilaporkan ke polisi hanya karena tindakan pendisiplinan yang seharusnya merupakan bagian integral dari proses pendidikan, mulai dari teguran hingga penegakan aturan kerapian.
Sekolah, yang seharusnya menjadi laboratorium dialog, kini terasa seperti gelanggang sengketa karena minimnya pemahaman hukum dan meningkatnya intervensi orang tua murid yang berlebihan.
Otoritas yang Terkikis
Baca Juga:
Soal Guru Madrasah Aksi Nasional 30 Oktober, Ini Respons Kemenag
Krisis ini sangat filosofis. Mengutip Hannah Arendt, guru adalah “Wakil Dunia”, yakni pihak yang memegang mandat untuk memperkenalkan tatanan dan nilai kepada generasi baru.
Ketika otoritas ini (legitimasi profesional untuk mendidik) dilemahkan oleh tuntutan birokrasi, panoptikon digital media sosial, dan ancaman pidana, pendidikan kehilangan fondasi moralnya. Guru terdegradasi menjadi operator layanan semata, bukan pembimbing manusia.
Inilah saatnya kita menghentikan retorika klise dan beralih ke solusi struktural dan filosofis.
Jalan Visioner: Disiplin Positif
Mengembalikan marwah guru bukan berarti kembali ke pendidikan yang otoriter. Solusinya terletak pada penguatan Otoritas Pedagogis melalui Disiplin Positif.
Disiplin Positif adalah sebuah filosofi visioner yang melampaui hukuman. Fokusnya adalah pada koneksi, bukan koreksi; pada solusi, bukan sanksi. Ia mengajarkan siswa keterampilan hidup dan tanggung jawab jangka panjang, bukan sekadar kepatuhan sesaat karena takut.
Dengan Disiplin Positif, guru menggunakan otoritasnya sebagai pembimbing yang empatik, bukan sebagai penghukum.
Tiga Pilar Pemulihan Otoritas Guru
Mewujudkan Disiplin Positif sebagai fondasi baru pendidikan menuntut adanya restrukturisasi yang mendesak, bertumpu pada tiga pilar utama yang saling menguatkan:
Pertama, Penguatan Payung Hukum dan Jaminan Imunitas Pedagogis. Negara harus bergerak cepat untuk mengatasi kerapuhan hukum yang mengancam profesi guru. Hal ini berarti adanya regulasi yang secara eksplisit menjamin imunitas pedagogis—perlindungan hukum bagi guru yang bertindak profesional dalam batas-batas pendidikan yang wajar.
Secara prosedural, wajibkan Mediasi dan Resolusi Konflik Internal Sekolah sebagai filter pertama dan utama. Jalur pidana hanya boleh menjadi pilihan terakhir, setelah semua upaya dialogis di tingkat sekolah dan komite gagal total. Langkah ini esensial untuk mengembalikan rasa aman dan kewibawaan profesional di ruang kelas.
Kedua, Edukasi Multilateral tentang Prinsip Disiplin Positif. Perubahan budaya tidak dapat terjadi hanya di satu pihak. Diperlukan program pelatihan masif yang menyasar guru, orang tua, dan bahkan murid secara simultan mengenai prinsip-prinsip Disiplin Positif.
Ini adalah upaya kolektif untuk menggantikan budaya kekuasaan yang didasarkan pada rasa takut dan hukuman, dengan budaya dialogis yang berakar pada empati, pemecahan masalah bersama, dan rasa hormat timbal balik. Ketika semua pihak memahami bahwa disiplin adalah alat untuk mengajar, bukan menghukum, fondasi kepercayaan akan pulih.
Ketiga, Pengurangan Beban Administrasi untuk Memulihkan Fokus Utama Guru. Waktu adalah aset paling berharga seorang guru. Saat ini, energi dan fokus guru terserap oleh tumpukan dokumen, laporan birokratis, dan tuntutan administratif yang tidak relevan dengan esensi pendidikan. Pemerintah harus melakukan perampingan birokrasi dan digitalisasi sistem secara drastis.
Tujuannya jelas: mengembalikan waktu dan fokus guru ke kelas, di mana dialog otentik, relasi dialogis, dan pembentukan karakter melalui interaksi langsung benar-benar terjadi. Tanpa pembebasan dari belenggu administrasi, energi guru untuk menerapkan Disiplin Positif akan terus terkuras.
Hari Guru Nasional harus menjadi momentum untuk resolusi kolektif: pengakuan bahwa kita belum bisa menyediakan ruang aman bagi guru.
Dengan berinvestasi pada Disiplin Positif, kita tidak hanya melindungi guru dari kriminalisasi, tetapi juga mengembalikan martabat pendidikan itu sendiri, memastikan masa depan bangsa berdiri di atas fondasi yang kuat dan berintegritas.
Penulis, Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co