AKHIR selalu datang dengan janji kebahagiaan. Tiket dibeli, koper disiapkan, rencana pulang kampung atau berlibur disusun sejak jauh hari. Namun di balik euforia Natal dan Tahun Baru, ada satu kenyataan yang tak bisa dihindari: jalanan padat, cuaca tak menentu, dan risiko selalu mengintai.
Nataru 2025/2026 bukan libur biasa. Pemerintah memprediksi 119,5 juta pergerakan orang, angka yang menunjukkan betapa masifnya mobilitas masyarakat. Jalan raya, stasiun, bandara, pelabuhan—semuanya berubah menjadi ruang temu jutaan kepentingan yang bergerak bersamaan. Di titik inilah, perjalanan tak lagi semata urusan pribadi, melainkan urusan kolektif.
Baca Juga:
Sambut Nataru, PLN dan Mitra Siapkan 4.514 SPKLU di 2.862 Titik serta 69.000 Personel di 3.392 Posko Nasional, ALPERKLINAS: Mobil Listrik Aman Dibawa Mudik
Negara menyadari betul kompleksitas ini. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menegaskan bahwa pemerintah menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama.
“Kemenhub berkomitmen memprioritaskan keamanan dan keselamatan seluruh moda transportasi selama masa Nataru tahun ini,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Persiapan Angkutan Nataru 2025/2026.
Pernyataan ini penting, namun juga menyiratkan satu hal: sehebat apa pun sistem, keselamatan tak pernah sepenuhnya bisa diproduksi dari balik meja kebijakan.
Baca Juga:
Memastikan Keamanan Pasokan BBM Selama Libur Nataru dan Libur Sekolah
Di lapangan, keselamatan sering ditentukan oleh keputusan-keputusan kecil yang dibuat individu: memaksakan berangkat meski hujan lebat, tetap ngebut demi mengejar waktu, atau memilih menyerobot antrean karena merasa paling berhak sampai duluan.
Padahal, aparat kepolisian sudah mengingatkan agar masyarakat memberi ruang pada keselamatan. Direktur Keamanan dan Keselamatan Korlantas Polri, Brigjen Prianto, bahkan mengimbau dengan sangat sederhana: “Kalau memang mau mudik atau mau ke stasiun kereta api, bandara, itu lebih baik spare waktunya yang agak panjang. Jadi tidak terburu-buru di jalan.”
Kalimat itu terdengar sepele, tetapi justru di sanalah inti persoalan Nataru berada. Libur panjang bukan hanya soal manajemen lalu lintas, melainkan ujian kedewasaan kita sebagai pengguna ruang publik.
Ketika jutaan orang bergerak bersamaan, etika perjalanan menjadi penentu apakah kepadatan berubah menjadi kekacauan, atau tetap bisa dikelola dengan rasa saling menghormati.
Pada akhirnya, Nataru mengajarkan satu hal mendasar: perjalanan aman bukan hasil keberuntungan, melainkan hasil kesadaran bersama. Dan kesadaran itu selalu dimulai dari hal paling sederhana, yakni kesediaan untuk tidak tergesa-gesa, dan keikhlasan untuk berbagi jalan dengan sesama.
Kapasitas yang Terbatas
Setiap Nataru, kepadatan lalu lintas hampir selalu diperlakukan seperti bencana dadakan. Media sosial dipenuhi keluhan, jalanan dianggap “gagal”, dan kemacetan diposisikan sebagai musuh bersama. Padahal, jika ditarik ke akar persoalan, kepadatan saat libur panjang bukanlah musibah, melainkan keniscayaan sosial.
Ketika jutaan orang bergerak dalam waktu yang relatif bersamaan dengan tujuan, harapan, dan urgensi masing-masing, ruang publik pasti berada di bawah tekanan. Jalan raya, stasiun, bandara, dan pelabuhan memiliki kapasitas terbatas. Tidak ada sistem transportasi di dunia yang benar-benar dirancang untuk melayani puncak mobilitas ekstrem tanpa konsekuensi antrean dan perlambatan.
Masalahnya bukan pada fakta kepadatan itu sendiri, melainkan pada cara kita menyikapinya. Banyak pengguna jalan masih membawa ekspektasi hari normal ke dalam situasi luar biasa.
Mereka berharap perjalanan tetap mulus, waktu tempuh tak berubah, dan kepentingan pribadi selalu diutamakan. Ketika realitas tidak sesuai harapan, emosi pun mengambil alih: klakson ditekan lebih sering, jalur diserobot, dan aturan dianggap penghalang, bukan pelindung.
Padahal, kepadatan sejatinya adalah sinyal bahwa ruang publik sedang digunakan secara bersamaan oleh banyak orang yang setara. Dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkan bukan kecerdikan untuk mencari celah, melainkan kesediaan untuk berbagi ruang dan waktu. Etika perjalanan justru menemukan maknanya di tengah antrean panjang dan laju kendaraan yang melambat.
Menerima kepadatan sebagai keniscayaan berarti menerima bahwa perjalanan Nataru menuntut kompromi. Kompromi dengan waktu, dengan kenyamanan, bahkan dengan ego.
Sebab di jalan raya yang padat, setiap keputusan individual selalu berdampak pada orang lain. Satu manuver nekat bisa memicu kemacetan panjang; satu tindakan sabar bisa menjaga alur tetap terkendali.
Di titik inilah Nataru mengajarkan pelajaran penting: kemacetan bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan sikap. Dan sikap itulah yang akan menentukan apakah kepadatan berubah menjadi kekacauan, atau tetap bisa dilalui dengan rasa saling menghormati.
Negara Menyiapkan Sistem, Publik Menentukan Hasil
Setiap musim libur panjang, negara bekerja di balik layar. Posko didirikan, personel disiagakan, skema rekayasa lalu lintas disiapkan, dan koordinasi lintas lembaga diperkuat.
Semua itu menunjukkan satu hal penting: keselamatan perjalanan tidak dibiarkan berjalan sendiri. Ada sistem yang dirancang untuk meredam risiko di tengah lonjakan mobilitas.
Namun, sistem pada dasarnya hanya menyediakan pagar pengaman. Ia tidak pernah bisa sepenuhnya menggantikan peran manusia di dalamnya. Jalan boleh direkayasa, jadwal bisa diatur, posko dapat dipasang di titik-titik rawan, tetapi hasil akhir tetap ditentukan oleh perilaku pengguna jalan.
Dalam praktiknya, banyak kebijakan keselamatan justru gagal bukan karena desain yang buruk, melainkan karena resistensi publik.
Jalur darurat dipakai untuk menyalip, antrean dilanggar demi keuntungan sesaat, peringatan cuaca diabaikan karena rasa “tanggung sudah dekat”. Di titik ini, sistem yang dibangun negara kerap berhadapan langsung dengan ego individu.
Padahal, keselamatan di ruang publik bekerja dengan logika yang sederhana: semakin tertib satu orang, semakin aman orang lain. Sebaliknya, satu tindakan ceroboh bisa memicu efek berantai.
Keterlambatan kecil dapat berubah menjadi kecelakaan, dan pelanggaran ringan bisa berujung pada gangguan besar. Di tengah kepadatan Nataru, tidak ada tindakan yang benar-benar berdampak personal semata.
Etika perjalanan hadir untuk menjembatani celah antara sistem dan perilaku. Ia mengingatkan bahwa aturan lalu lintas bukan pembatas kebebasan, melainkan mekanisme berbagi keselamatan.
Ketika negara menyiapkan sistem, publik dituntut mengisinya dengan kesadaran. Tanpa itu, seluruh skema hanya akan menjadi formalitas musiman.
Nataru, pada akhirnya, memperlihatkan batas peran negara. Negara bisa menyiapkan infrastruktur, regulasi, dan aparat, tetapi tidak bisa menggantikan akal sehat warga. Di sinilah letak tanggung jawab bersama: negara menjaga, masyarakat mematuhi, dan keselamatan lahir dari pertemuan keduanya.
Jika sistem adalah fondasi, maka etika perjalanan adalah bangunan di atasnya. Tanpa etika, fondasi akan tetap kokoh, tetapi ruang publik di atasnya akan terus dipenuhi retakan. [*]
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co