WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aksi premanisme yang dilakukan oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) tidak hanya menghambat investasi di sektor manufaktur, terutama di Kawasan Industri (KI) Cikarang, Karawang, dan Purwakarta yang menjadi pilar pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sektor properti, tindakan serupa juga menjadi ancaman serius dengan pola yang terstruktur dan sistematis.
Baca Juga:
Diborgol dan Digiring ke Mobil, Ini Tampang Penembak Polisi di Way Kanan
Direktur Ciputra Group, Harun Hajadi, mengungkapkan bahwa praktik premanisme masih menjadi tantangan di industri perumahan di berbagai daerah di Indonesia.
Meskipun kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya relatif lebih aman, di sejumlah wilayah lain kasus gangguan dari kelompok-kelompok tak resmi masih sering terjadi.
"Gangguan ini bervariasi, mulai dari permintaan rekomendasi hingga upaya pemerasan. Biasanya, kelompok-kelompok yang mengganggu ini tidak terafiliasi dengan ormas resmi, sehingga lebih mudah ditangani. Namun, di beberapa daerah seperti Jawa Barat dan Sumatera Utara, gangguan yang terjadi lebih terstruktur," ujar Harun, mengutip Kompas.com, Kamis (20/3/2025).
Baca Juga:
Kapolresta Mamuju: Keberhasilan Layanan Hotline 110 Capai 68,6 Persen
Ciputra Group sendiri memiliki portofolio properti di hampir 40 kota di Indonesia.
Di Jawa Barat, perusahaan ini mengembangkan 10 proyek yang mencakup perumahan dan hotel, sementara di Sumatera Utara, mereka menggandeng Gama Land dalam pembangunan dua proyek perumahan.
Sosialisasi Sebagai Kunci Pencegahan
Untuk mengatasi permasalahan ini, sosialisasi yang efektif sebelum proyek dimulai menjadi langkah penting. Jika gangguan dibiarkan sejak awal, maka akan sulit untuk dikendalikan di kemudian hari.
"Sosialisasi di tahap awal sangat penting. Kami juga memiliki program perbaikan rumah dan sekolah di sekitar proyek sebagai bentuk kontribusi kepada masyarakat," jelas Harun.
Selain itu, regulasi perizinan yang rumit dan berbelit kerap menjadi celah bagi oknum aparat penegak hukum (APH) dan ormas untuk melakukan pemerasan terhadap pengembang. Proses yang panjang dan kompleks ini seringkali menjadi alat bagi pihak tertentu untuk menekan investor.
"Banyaknya regulasi yang rumit dan memakan waktu menjadi celah bagi oknum APH dan ormas untuk menanyakan perizinan di luar kewenangan mereka. Akhirnya, kami dijadikan sumber pendapatan ilegal," ungkap seorang pengembang.
Kerja sama antara pengembang, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini.
Sosialisasi yang tepat kepada masyarakat sekitar proyek juga penting untuk membangun hubungan yang harmonis serta mencegah konflik dan kesalahpahaman.
"Di beberapa daerah, sosialisasi sudah dilakukan sebelum proyek dimulai. Itu sebabnya langkah ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif," tambah pengembang tersebut.
Premanisme di sektor properti masih menjadi isu yang harus mendapat perhatian serius. Meski tidak semua daerah mengalami gangguan yang terorganisir, penting bagi pengembang untuk memperkuat komunikasi dengan masyarakat dan menerapkan strategi mitigasi risiko.
Selain itu, pemerintah perlu menyederhanakan regulasi perizinan guna mengurangi celah penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan sektor investasi.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]