"Ini penting untuk citra kampus agar menarik minat calon mahasiswa, sekaligus memoles wajah kampus agar lulusannya dilirik dunia kerja. Tapi ketika rata-rata IPK terlalu tinggi, masyarakat dan dunia kerja akhirnya lebih menilai nama dan reputasi kampus, bukan sekadar IPK," jelas Edi.
Padahal, dalam pemeringkatan global, IPK bukanlah faktor utama. Lembaga penilai lebih memperhatikan hasil riset, kontribusi teknologi, hingga kiprah lulusan di masyarakat.
Baca Juga:
Berbagi Keberkahan Ramadhan, DPD IPK Dairi Santuni Yatim Piatu
Lebih lanjut, Edi mengungkap sejumlah penyebab terjadinya inflasi IPK, mulai dari kompetisi antar-kampus, sistem akreditasi, hingga survei kepuasan mahasiswa yang diadopsi dari dunia korporasi.
"Kompetisi bebas antar-kampus membuat mereka berlomba mendongkrak citra. Cara cepatnya? Dorong dosen beri nilai tinggi, baik dalam mata kuliah biasa maupun skripsi," bebernya.
Daripada membangun atmosfer akademik berkualitas, yang memerlukan dana dan sistem kuat, kampus cenderung memilih jalan pintas. Salah satunya lewat survei kepuasan mahasiswa. Edi menjelaskan bahwa dosen yang ketat cenderung mendapat penilaian rendah, sementara yang ‘murah hati’ dalam memberi nilai cenderung disukai.
Baca Juga:
Indeks Persepsi Korupsi RI 34, TKN: di Zamannya Megawati Paling Tinggi 19
"Model survei seperti ini membuat dosen terdorong memberi nilai bagus agar mendapatkan penilaian baik dari mahasiswa. Nilai bagus dari mahasiswa bisa berdampak langsung pada tunjangan dan evaluasi kinerja dosen," paparnya.
Tak hanya itu, sistem akreditasi juga memacu kampus mengejar angka.
Salah satu indikator yang dinilai adalah persentase mahasiswa lulus tepat waktu dan memiliki IPK tinggi.