“Beberapa tahun terakhir, ada percepatan studi demi akreditasi unggul. Untuk itu, mahasiswa didorong cepat-cepat menyelesaikan skripsi, menulis jurnal, atau sekadar menyumbang book chapter dan prototype. Ini berdampak pada penurunan mutu karya ilmiah,” ungkap Edi.
Konsekuensinya, semangat berkompetisi di kalangan mahasiswa memudar. Apalagi dengan kehadiran kecerdasan buatan yang sering dijadikan penolong dalam menyelesaikan tugas.
Baca Juga:
Berbagi Keberkahan Ramadhan, DPD IPK Dairi Santuni Yatim Piatu
“Ketika dosen terlalu mudah memberi nilai tinggi, mahasiswa pun cenderung tak belajar dengan sungguh-sungguh. Bahkan ada yang mengandalkan AI, padahal kapasitas otaknya belum tentu setara dengan hasil tugasnya,” kata Edi.
Ia menilai perlu adanya reformasi sistemik dalam dunia kampus. Menurutnya, kualitas dosen tidak seharusnya diukur dari survei kepuasan, melainkan melalui pendekatan pedagogis yang lebih tepat.
"Dunia pendidikan punya teori sendiri untuk menilai penilaian profesional dosen. Tak perlu pinjam teknik survei pelanggan ala korporasi yang justru membuat nilai mahasiswa melambung tidak realistis. Sistem akreditasi juga harus berani meninggalkan orientasi pada angka IPK dan kelulusan semata," pungkasnya.
Baca Juga:
Indeks Persepsi Korupsi RI 34, TKN: di Zamannya Megawati Paling Tinggi 19
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.