WAHANANEWS.CO, Jakarta - Potret kelam dunia pendidikan kembali disorot tajam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga antirasuah tersebut membeberkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 yang menunjukkan bahwa perilaku menyimpang, mulai dari budaya menyontek hingga praktik korupsi, masih merajalela di berbagai jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Baca Juga:
Menangis Usai Diperiksa KPK, Windy Idol Mengaku Cuma Korban
Data ini menjadi alarm keras bagi para pemangku kebijakan dan masyarakat luas mengenai krisis integritas yang masih menghantui ruang-ruang belajar di Indonesia.
Dalam SPI yang digelar KPK tahun 2024, tercatat bahwa budaya menyontek masih menjadi persoalan utama di mayoritas institusi pendidikan.
Survei tersebut mengungkap bahwa praktik menyontek masih ditemukan di 78 persen sekolah dan bahkan mencapai 98 persen di lingkungan kampus.
Baca Juga:
KPK Klarifikasi Barang Sitaan dari Ridwan Kamil Terkait Kasus Iklan Bank BJB
Tak hanya itu, ketidakdisiplinan akademik juga menjadi sorotan dalam survei ini. Banyak mahasiswa dan siswa di Indonesia dinilai tidak menunjukkan etika akademik yang baik, salah satunya dengan kebiasaan datang terlambat ke sekolah atau kampus.
“Kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Masalah ketidakdisiplinan akademik, 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa yang menjadi responden mengaku pernah terlambat datang ke sekolah atau kampus,” ujar Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, dalam presentasi hasil SPI 2024 di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (24/4/2025).
Tak hanya siswa dan mahasiswa, ketidakdisiplinan juga ditemukan di kalangan tenaga pengajar.
Menurut Wawan, survei menunjukkan bahwa mayoritas guru dan dosen masih sering terlambat hadir atau bahkan tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
“Menurut 69 persen siswa, masih ada guru yang datang terlambat. Sedangkan menurut 96 persen mahasiswa, masih ada dosen yang terlambat hadir. Bahkan di 96 persen kampus dan 64 persen sekolah ditemukan ada dosen atau guru yang tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima,” jelasnya.
Selain itu, survei SPI 2024 juga mencerminkan masih lemahnya pemahaman mengenai gratifikasi di dunia pendidikan.
Sekitar 30 persen guru atau dosen dan 18 persen kepala sekolah beranggapan bahwa pemberian hadiah dari siswa atau wali murid adalah hal yang wajar.
Wawan memaparkan, pada 60 persen sekolah, ditemukan orang tua yang mengaku biasa memberikan hadiah atau bingkisan kepada guru saat momen tertentu, seperti hari raya atau kelulusan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, di 22 persen sekolah, orang tua mengungkapkan bahwa pemberian tersebut bertujuan agar nilai siswa menjadi baik atau untuk memastikan kelulusan anak.
SPI KPK 2024 juga menggarisbawahi maraknya benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa di sekolah maupun kampus.
Wawan menjelaskan bahwa pada 43 persen sekolah dan 68 persen kampus, penentuan vendor masih dipengaruhi oleh hubungan pribadi dengan pihak pimpinan satuan pendidikan.
“Bahkan pada 26 persen sekolah dan 68 persen kampus, ditemukan pihak satuan pendidikan menerima komisi dari vendor. Transparansi juga menjadi masalah, dengan 75 persen sekolah dan 87 persen kampus melakukan pengadaan secara tidak terbuka,” ujar Wawan.
Lebih lanjut, SPI KPK 2024 mencatat penyalahgunaan dana BOS di 12 persen sekolah, termasuk dalam bentuk pemerasan, potongan, atau pungutan yang tidak sesuai aturan, yang ditemukan pada 17 persen sekolah.
Nepotisme pun masih menjadi praktik umum dalam proses pengadaan, dengan 40 persen sekolah dilaporkan melibatkan relasi dalam penunjukan pelaksana proyek atau penyedia jasa.
Sementara itu, sebanyak 47 persen sekolah masih melakukan pembengkakan biaya penggunaan dana lainnya.
“Pelanggaran lainnya juga masih ditemukan pada 42 persen sekolah. Perilaku-perilaku koruptif tetap ada di berbagai satuan pendidikan,” lanjut Wawan.
Masalah pungutan liar juga belum sepenuhnya hilang. Di 28 persen sekolah masih ditemukan pungutan di luar biaya resmi dalam proses penerimaan siswa baru.
Selain itu, pungutan juga terjadi dalam pengurusan sertifikasi atau dokumen lainnya di 23 persen sekolah dan 60 persen kampus.
Survei ini melibatkan sekitar 36 ribu responden dari satuan pendidikan yang meliputi lebih dari 35 ribu sekolah dasar dan menengah, serta sekitar 1.200 perguruan tinggi.
Responden juga mencakup lebih dari 1.041 peserta didik, 1.601 tenaga pendidik, 1.001 orang tua atau wali murid, serta lebih dari 45 ribu pimpinan satuan pendidikan, dengan total keseluruhan responden mencapai lebih dari 449 ribu orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan dua metode, yaitu metode daring melalui WhatsApp dan email blast, serta CAWI (Computer Assisted Web Interviewing).
Metode hybrid juga diterapkan dengan menggunakan CAPI (Computer-assisted personal interviewing) untuk menjangkau responden secara langsung.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]