WahanaNews.co | Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menjadi titik pijak perubahan mendasar bagi pendidikan tinggi di Indonesia salah satunya soal syarat skripsi tidak wajib bagi S1.
Peraturan ini dinilai harus dikawal dan dievaluasi untuk menghasilkan tata kelola pendidikan tinggi yang bermutu dan berintegritas.
Baca Juga:
Kasus Magang Palsu Jerman, Guru Besar di Jambi Dapat Cuan Rp48 Juta
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menyambut baik terbitnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Menurut dia, peraturan ini menjadi titik pijak bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk melompat lebih baik ke depan.
“Aturan baru tentang penjaminan mutu pendidikan tinggi ini menjadi milestone bagi pendidikan tinggi di Indonesia,” kata Tholabi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Baca Juga:
Prof. Erlina Burhan: 385 Pasien TB Meninggal Setiap Hari di Indonesia
Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebutkan, simplifikasi standar nasional pendidikan harus dibaca sebagai upaya negara untuk mendesain pendidikan tinggi untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul yang tidak berjarak dengan realitas sosial.
Desain pendidikan tinggi di Indonesia harus mengikuti perkembangan tuntutan zaman.
"Aturan baru ini adalah bagian dari upaya untuk mendekatkan sistem pendidikan dengan realitas di lapangan dengan senantiasa berpijak pada tujuan pendidikan,” jelas Tholabi.
Pekerjaan rumah yang harus dilakukan saat ini, kata dia, pemerintah bersama penyelenggara pendidikan tinggi agar segera merumuskan standar pendidikan di level perguruan tinggi masing-masing serta pedoman teknis lainnya sebagai tindaklanjut atau penjabaran dari Permendibudristek No. 53 Tahun 2023 tersebut.
Dia berharap kebijakan ini harus dirumuskan detail tanpa mengurangi mutu.
“Seperti soal lulus sarjana tidak harus menulis skripsi, kemudian tidak ada kewajiban publikasi tugas akhir bagi program doktor dan magister, hal itu harus dirumuskan lebih detail dan implementatif di lapangan dengan tanpa mengurangi mutu yang dihasilkan,” ungkap Tholabi.
Menurut Tholabi, sejumlah kebijakan baru ini harus dimaknai sebagai ikhtiar nyata dari pemerintah untuk memberikan kemudahan melalui penyederhanaan lingkup standar, standar kompetensi lulusan, dan standar proses pembelajaran dan penilaian.
“Regulasi ini dimaksudkan dalam rangka memperluas ruang gerak perguruan tinggi untuk melahirkan inovasi. Karena inovasi hanya bisa dilakukan dengan ruang gerak yang luas,” kata Tholabi.
Di bagian lain, Tholabi menyinggung keberadaan kecerdasan buatan atau artificial intelegencia (AI) juga menjadi poin penting atas aturan baru ini.
Menurut dia, kecerdasan buatan telah mendisrupsi aktivitas ilmiah di lingkungan lembaga pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi.
”Ini menjadi tantangan nyata pendidikan kita saat ini. Kecerdasan buatan semakin menguatkan tradisi “bertanya” dan langsung menemukan jawabannya, dari pada tradisi “berpikir”. Padahal, pengetahuan itu basisnya adalah “cogito ergo sum”, pikiran,” tutup Tholabi.
[Redaktur: Zahara Sitio]