WahanaNews.co, Jakarta - Kemunduran demokrasi yang berlangsung hari ini membuatnya menjadi mirip Orde Baru (Orba). Demikian disampaikan Wijayanto pada webinar bertajuk "Masa Depan Demokrasi Indonesia di Masa Kepemimpinan Baru" yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES, Minggu (21/4/2024).
Menurut Wijayanto kondisi sekarang ini sudah semakin komplit, apa yang sudah dibangun pada 1 (satu) tahun kepemimpinan Jokowi akan terus berlanjut pada masa Kepemimpinan Prabowo, situasi akan lebih pesimistik dan lebih buruk.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
"Terdapat sekurangnya ada 6 karakteristik orba yang kita ulangi pada masa jokowi dan akan kita alami lagi dengan intensitas yang lebih tajam tebal warnanya." Kata Wijayanto.
Pengingkaran atas aturan main demokratis telah terjadi menurut Wija adalah ketika putra presiden Gibran Rakabuming Raka dengan merevisi UU Pemilu yang disetujui oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal itu tidak hanya menjadi sebuah pengingkaran tapi juga akan jadi sebuah legacy, dasar pedoman perilaku para politisi berikutnya di masa depan. Ada juga UU yang diputuskan tanpa konsultasi publik maksimal seperti Revisi UU KPK, UU Omnibus Law dll.
Baca Juga:
Universitas Paramadina Dorong Literasi Investasi Reksa Dana di Kalangan Mahasiswa
Masih menurut Wija akan terus berlanjutnya ideology New Developmentalism yang sama seperti era orde baru.
"Itu akan membentuk perilaku ideologi yang dimaknai sebagai satu ide tentang pembangunan yang terlalu berfokus pada infrastruktur tapi mengabaikan instrastruktur kultural atau non fisik. Mengabaikan demokrasi, budaya demokrasi, literasi politik, abaikan HAM, impunitas, abaikan kerusakan lingkungan, dan ke depan hal itu akan masih berlanjut apalagi UU IKN jalan terus."
"Akan berlanjut represi terhadap kebebasan berekspresi dari kelompok kritis masyarakat sipil termasuk media. Pelemahan oposisi di era Jokowi juga akan terus berlanjut, diduga setelah Prabowo dilantik akan terbentuk sebuah koalisi pemerintahan dan parpol yang besar tanpa adanya oposisi." Tambahnya.
"Soal Dwi Fungsi Polri dan Dwi Fungsi TNI terjadi. Telah terdeteksi arahnya ke sana, semoga tidak terjadi tapi diprediksi akan terjadi. Pengisian jabatan-jabatan sipil akan diisi oleh para aparat. Nepotisme, selama reformasi hal ini adalah hal baru, Presiden dengan segala cara mempengaruhi pengambilan keputusan agar putranya dapat menjadi pasangan Capres dan Cawapres, langsung ataupun tidak langsung." Papar Wijayanto,
Hadi Rahmat Purnama, direktur Pusat Hukum, HAM dan Gender LP3ES menyatakan bahwa terdapat 3 tantangan dari sisi penegakan negara hukum, yang pertama adalah adanya penegakan dan pengakuan terhadap HAM.
"Kedua peradilan yang bebas dan tidak memihak, menjadi bermasalah ketika putra presiden Jokowi kemudian diizinkan menjadi Cawapres padahal bertentangan dengan aturan main, dan disetujui oleh MK."
Ketiga menurut Hadi adalah Rule of Law. Hal yang penting dalam sebuah negara hukum, sebuah pondasi bagi sistem demokrasi yang terbuka dan check and balances yang harus selalu dijaga.
"Terkait juga dengan Judiciary atau peradilan yang bebas dan tidak memihak serta separation of power yang benar-benar clear dan jelas. Kebebasan berpendapat dan berserikat juga menjadi tantangan tersendiri dalam 10 tahun terakhir."
Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perludem menyatakan Pemilu di Indonesia pada bulan Februari 2024 masih dalam tahap demokrasi prosedural, bukan substansial.
"Hal procedural saja terdapat banyak permasalahan, mulai dari tata kelola, tahapan penyelenggaraan pemilu yang dinilai alami banyak kemunduran dalam aturan-aturan teknis. Semisal penataan daerah pemilihan yang sudah ada aturan MK nya tapi tidak dilakukan." Terang Nisa.
"Hal lainnya, kebijakan afirmasi yang tidak melibatkan perempuan dalam demokrasi, itu juga mengalami banyak kemunduran. Demokrasi yang tidak melibatkan perempuan bisa disebut demokrasi yang timpang."
Soal Etika lanjut Khoirunnisa juga tidak hanya terjadi pada ranah MK, tapi juga terjadi di KPU di mana ketua KPU telah berkali kali terkena sanksi etik oleh DKPP yang tidak hanya teguran, tapi peringatan keras terakhir yang berkali kali.
"Publik jelas bertanya tanya Pemilu kali ini mau dibawa kemana ketika pimpinan KPU sudah berkali kali melakukan pelanggaran etik." Kata Khoirunnisa.
Narasumber lainnya adalah Muhammad Ikhsan, MM dosen Universitas Paramadina "Dari sisi domestik sudah jelas presiden Prabowo, sudah sangat jelas karena mengatakan hal tersebut dari tiap kampanyenya, tetapi ada inovasi baru dimana adanya makan siang gratis, tetapi harus memikirkan mengenai anggaran negara yang digelontorkan."
Berkaitan dengan sisi internasional, kawasan asia pasifik ada persaingan geopolitik, hingga ketegangan dari US dan China.
"Saat ini di Taiwan, kehilangan majority di parlemen sehingga mengundang kemarahan Cina. Adapun analisis security mengenai Angkatan bersenjata Cina, yang saat 2027 berusia 100 tahun memiliki kekuatan bersenjata yang dapat menganeksasi Taiwan."
"Perekonomian untuk mencapai growth 5% sangat sulit, terlebih nilai tukar rupiah saat ini sudah mencapai lebih dari Rp16.000. Penguatan masyarakat sipil menjadi jawaban, dimana kebijakan populis menyampingkan hitung-hitungan ekonomi yang teknokratis. Sehingga penguatan masyarakat sipil diawali dengan kemampuan berjaring dengan para aktor." Pungkasnya.
[Redaktur: Amanda Zubehor]