WahanaNews.co | Memperingati hari ulang tahun pertama, Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) menyelenggarakan "Hari Sadar Risiko Nasional 2022" belum lama ini.
Kegiatan ini menjadi momentum untuk mengajak para pemangku kepentingan di sektor kesehatan, ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya, dalam menyebarluaskan konsep sadar risiko bagi masyarakat.
Baca Juga:
Ciri-ciri Pemimpin Visioner, Salah Satunya Berani Ambil Risiko
Melalui acara ini, MASINDO beserta para narasumber menyampaikan inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan dalam mengimplementasikan konsep sadar risiko bagi para pelaku ekonomi maupun konsumen.
Acara ini turut dihadiri oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional serta figur publik.
Mewakili Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Imam Pasli, menjelaskan Indonesia saat ini masih dilanda bencana non-alam seperti masih tingginya kasus Penyakit Tidak Menular (PTM).
Baca Juga:
Utamakan Keselamatan Konsumen, PLN Siap Tindak Tegas Pencuri Kabel Listrik
Untuk itu, perlu adanya peningkatan budaya sadar risiko yang dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga, instansi pemerintah, dan masyarakat.
Melalui kegiatan yang diselenggarakan MASINDO ini, Imam optimis akan mengubah pola pikir dan membangun perilaku budaya sadar risiko.
"Kegiatan yang diselenggarakan MASINDO sangat penting dalam membangun budaya sadar risiko. Hal ini merupakan urusan bersama sehingga perlu mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan," ucap Imam selaku Sekretaris Deputi III Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kependudukan dan Keluarga Berencana, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Ketua MASINDO, Dimas Syailendra Ranadireksa, menjelaskan ada sejumlah tantangan untuk membangun budaya sadar risiko di masyarakat. Penyebab utamanya antara lain kebiasaan mengesampingkan risiko, kurangnya pengetahuan, hingga misinformasi dalam kehidupan sehari-hari.
"Oleh karena itu, bertepatan dengan satu tahun kehadiran MASINDO di Indonesia, kami akan memasyarakatkan konsep sadar risiko melalui edukasi, diskusi publik, advokasi media, kajian, dan informasi berbasis bukti ilmiah," ucap Dimas.
Sebagai contoh, masih banyak masyarakat yang tidak menggunakan helm saat berkendara. Padahal, helm diciptakan untuk melindungi diri dari berbagai risiko. Tak hanya itu, masih banyak juga orang yang memiliki kebiasaan merokok, meski mereka tahu bahwa merokok itu berbahaya.
Sementara telah hadir produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, yang menerapkan konsep pengurangan risiko, bagi perokok dewasa yang selama ini kesulitan untuk berhenti merokok.
Untuk itu, menurut Dimas, perlu adanya kolaborasi aktif bagi seluruh pemangku kepentingan untuk menyebarluaskan informasi dan mengedukasi mengenai konsep sadar risiko.
"Kolaborasi adalah kunci dalam mengembangkan pemahaman tentang konsep sadar risiko. Aktivitas dalam penyebaran informasi mengenai budaya sadar risiko harus dilakukan secara berkelanjutan sehingga menciptakan manfaat untuk jangka panjang," jelas Dimas.
Ketua Tim Kerja Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM), Kementerian Kesehatan, Esti Widiastuti, menambahkan prevalensi PTM, khususnya diabetes, masih terus meningkat setiap harinya. Hal ini dikarenakan kurangnya aktivitas fisik, tekanan darah tinggi, serta kelebihan berat badan. Penderita diabetes yang disertai komorbiditas akan memiliki risiko yang tinggi dari segi komplikasi maupun pembiayaan kesehatan.
"Sebagai antisipasi, masyarakat harus sadar risiko terhadap faktor risiko diabetes melitus dengan menerapkan gaya hidup sehat. Perubahan ini perlu dukungan semua pihak agar bisa terwujud. Upaya preventif perlu diperkuat lagi tanpa harus mengabaikan pendekatan kuratif," jelas Esti.
Selain kesehatan, budaya sadar risiko perlu ditingkatkan pada aspek lingkungan. Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, Sri Tantri Arundhati, mengungkapkan bencana alam yang sedang marak terjadi tidak dapat dilepaskan dari dampak perubahan iklim. Hampir 95% perubahan iklim diakibatkan, baik langsung maupun tidak langsung, dari aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer.
"Perubahan iklim tidak bisa dihindari, semua pihak bisa terdampak masalah lingkungan termasuk kehutanan, pertanian, dan peternakan. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menjalankan program Kampung Iklim untuk mendorong kelompok masyarakat melakukan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal," ucap Sri.
Badan Riset dan Inovasi Nasional turut mendukung penerapan budaya risiko. Dr. Arief Hadianto, Inspektur I, Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan semua aktivitas memiliki risiko.
Oleh karena itu, BRIN membentuk pedoman manajemen risiko yang disosialisasikan kepada seluruh unit melalui satuan tugas. Sosialisasi juga dilakukan melalui forum group discussion (FGD). "Semua organisasi harus punya budaya sadar risiko. Kenapa perlu membangun budaya risiko? Karena risiko ini tidak terduga sehingga kesadaran terhadap risiko harus ditingkatkan ," ujar Arief.
Budaya sadar risiko juga perlu dapat diimplementasikan dalam pengelolaan keuangan. Founder sekaligus CEO QM Financial, Ligwina Hananto, mengingatkan pentingnya sadar risiko dalam hal finansial. Dengan begitu, masyarakat dapat mengelola keuangan dan terhindar dari penipuan.
“Kecenderungan berpikir jangka pendek membuat seseorang tidak memahami risiko finansial. Misalnya, tren masalah finansial baru-baru ini adalah gagal bayar pinjaman online dan investasi bodong.”
"Untuk menghindarinya, perlu berpikir jangka panjang sebelum melakukan pinjaman atau investasi dengan hasil yang cepat karena sasaran kedua hal ini adalah masyarakat yang kesulitan keuangan," imbuhnya. [eta]