WahanaNews.co, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) membongkar penyebab banyaknya pabrik di Jawa Barat yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), tercatat untuk periode Januari-Maret 2024, PHK di Jawa Barat berimbas kepada 2.650 pekerja.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan, mayoritas di antara pabrik-pabrik yang tutup ini ialah yang bergerak di sektor padat karya. Dalam hal ini, khususnya di sektor tekstil dan garmen.
"Itu pabrik besar itu tekstil dan garmen kebanyakan. Kan kalau makanan minuman ada nggak yang, so far masih oke," kata Shinta di Kantor DPN Apindo, Jakarta Selatan, Rabu (8/5/2024).
Shinta menambahkan, tidak sedikit pula dari pengusaha yang akhirnya memutuskan untuk memindahkan pabriknya ke wilayah lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini salah satunya demi mengejar upah minimum provinsi (UMP) yang lebih rendah.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Upahnya kan lebih rendah daerah lain. Ada daerah lain yang lebih rendah, jadi mereka pindah karena alasan-alasan itu. Banyak (yang pindah) ke Jawa Tengah," ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ada sejumlah elemen yang penting untuk diperhatikan pebisnis demi menjaga keberlangsungan usahanya. Pertama, yang menjadi kunci utamanya ialah perhitungan cost of doing business atau biaya bisnis. Dalam hal ini, salah satu faktor utamanya ialah biaya tenaga kerja atau labour cost.
Selain itu, elemen lainnya yang juga penting ialah peningkatan produktivitas. Shinta mengatakan, pada akhirnya dengan kondisi penuh tekanan di industri padat karya ini, yang paling diharapkan ialah peningkatan produktivitas.
"Memang padat karya memang lebih banyak input variable cost-nya, seperti labour cost. Kalau yang teknologi tinggi kan memang labour-nya sedikit, yang high. Jadi sangat mempengaruhi, upaya sangat mempengaruhi kinerja itu," katanya.
Meski demikian, ia juga menekankan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kelangsungan usaha di suatu daerah, tidak hanya dari segi upah tenaga kerja. Salah satu elemen lainnya yang juga diperhitungkan ialah ketersediaan bahan baku.
Di sisi lain, meski sejumlah sektor dihantui badai PHK, Shinta optimistis kondisi ini tidak akan separah waktu pandemi Covid-19 melanda. Adapun pada kala itu, di periode 2022-2023 tercatat sebanyak 1 juta pekerja industri tekstil terkena gelombang PHK.
Ekonomi Indonesia sendiri saat ini tengah menghadapi banyak tantangan, mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga kenaikan suku bunga. Hal ini sebagai imbas atas memanasnya geopolitik global, diperparah dengan adanya konflik Israel-Iran.
"Kami melihat garment-textile itu yang paling pengaruh. Kemarin kalau kita lihat dari segi merumahkan karyawan dan lain-lain, banyak pabrik yang tutup. Tapi menurut kami, kalau di sektor-sektor lain masih cukup terkendali gitu," ujar dia.
Atas kondisi ini, Apindo sendiri berupaya untuk membantu para pengusaha agar tidak sampai mengambil langkah ke arah PHK. Dalam hal ini, ia juga menyoroti kondisi peningkatan pengangguran di Indonesia. Menurutnya, kondisi ini akan mendatang efek berganda ke berbagai hal.
"Kita terus inikan dengan pemerintah untuk menjaga kondusivitas daripada iklim usaha yang ada. Ini kita harus maintain cost of doing business-nya dan lain-lain. Jangan kita sudah dengan kondisi ekonomi, mungkin yang lebih sulit, kita harus jangan sampai ini bisa lebih terimbas. Karena nanti jelas akan pengaruh kepada tenaga kerja," ujarnya.
Sebagai tambahan informasi, data Kemnaker menunjukkan, PHK di Jawa Barat untuk periode Januari-Maret 2024 tercatat sebanyak 2.650 pekerja.
Rinciannya 306 pekerja di bulan Januari, 654 di bulan Februari, dan 1690 di bulan Maret 2024. Selain itu, tercatat di DKI Jakarta PHK berimbas pada 8.876 pekerja, di Jawa Tengah 8.648 pekerja, di Banten 941 pekerja, dan di Riau 666 pekerja.
Terbaru, ada PHK yang dilakukan PT Sepatu Bata Tbk (BATA) terhadap 233 karyawannya. Hal ini menyusul penutupan pabrik sentra produksi alas kakinya yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat, per 30 April 2024.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]