WahanNews.co, Bangkok – Konferensi ASEAN+3 tentang Perlindungan Konsumen sektor Ekonomi Digital dan Kecerdasan Buatan (AI) yang digelar pada tanggal 28-30 Agustus 2024 di Amari Hotel Airport, Don Mueng, Bangkok, Thailand. Menggarisbawahi kekhawatiran yang semakin meningkat terkait eskalasi cepat ancaman siber di kawasan Asia Tenggara.
Kekhawatiran ini mendorong ASEAN bersama tiga forum utama yakni TCC Thailand, FOMCA Malaysia, dan YLKI Indonesia, untuk menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) guna memperkuat kerja sama dalam memerangi kejahatan siber lintas batas.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Imbau Konsumen Percayakan Perbaikan dan Pemasangan Instalasi Listrik pada Ahlinya
Ancaman siber di kawasan ASEAN semakin mengkhawatirkan karena telah menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan. Data terbaru menunjukkan bahwa Vietnam mengalami kerugian sebesar 3,6% dari PDB-nya akibat serangan siber pada tahun 2023. Di Hong Kong, konsumen dilaporkan kehilangan setidaknya USD 25 juta, sementara di Thailand, warga kehilangan sekitar THB 78 juta setiap hari dari dari dompet digital atau rekening bank mereka.
Kondisi ini memicu keprihatinan di kalangan organisasi konsumen di ASEAN yang menilai bahwa upaya pendidikan konsumen dan undang-undang yang ada belum mampu mengimbangi tindakan para pelaku kejahatan siber. Ancaman tersebut dianggap serius tidak hanya terhadap ekonomi, tetapi juga terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai langkah konkret, organisasi konsumen dari negara-negara ASEAN bersepakat untuk memperkuat kerja sama melalui penandatanganan MoU dengan ASEAN+3. MoU ini bertujuan untuk meningkatkan upaya perlindungan konsumen di seluruh wilayah, terutama dalam menghadapi ancaman yang semakin kompleks di era digital.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dukung Rencana PLN Ubah Tiang Listrik Jadi SPKLU, Utamakan Keselamatan Masyarakat
Penandatanganan MoU ini diharapkan dapat menjadi tonggak penting dalam memperkuat keamanan siber di kawasan, melindungi hak-hak konsumen, dan menjaga stabilitas ekonomi digital. ASEAN+3 juga berencana untuk membentuk sebuah pusat koordinasi yang akan membantu mengoordinasikan respons terhadap insiden siber serta memfasilitasi pertukaran informasi dan teknologi antara negara-negara anggota.
Ket foto: KRT Tohom Purba, Ketum Alperklinas (kedua dari kanan), saat foto bersama beberapa perwakilan lembaga perlindungan konsumen dalam acara ASEAN Consumen Conference yang diadakan pada tanggal 28-30 Agustus 2024 di Amari Hotel Airport, Don Mueng, Bangkok, Thailand. [WahanaNews.co/Tohom Purba]
Para pemimpin dan pejabat tinggi yang hadir dalam konferensi tersebut menegaskan komitmen mereka untuk melindungi konsumen dan menjaga integritas ekonomi digital di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Saree Aongsomwang, Secretary-General,Thailand Consumers Council (TCC), menyatakan bahwa konferensi "Memperkuat ASEAN+3 dalam Perlindungan Konsumen di Ekonomi Digital dan AI", yang diselenggarakan untuk pertama kalinya di ASEAN, merupakan kesuksesan besar.
Diselenggarakan dengan kolaborasi Dewan Konsumen Thailand, Yayasan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Federasi Asosiasi Konsumen Malaysia (FOMCA), dan organisasi konsumen ASEAN+3 lainnya, acara ini berlangsung pada 29-30 Agustus 2024.
Selain bertukar pengetahuan tentang pencegahan dan pengelolaan pelanggaran hak-hak konsumen siber, konferensi ini juga mencakup penandatanganan MOU antara organisasi konsumen dari tujuh negara, yaitu Malaysia, Filipina, Myanmar, Laos, Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand.
MOU ini berfungsi sebagai kerangka kerja sama di antara organisasi konsumen ASEAN untuk meningkatkan pertukaran informasi dan pengetahuan, memastikan manfaat yang setara bagi semua negara anggota, dan memperkuat kapasitas pejabat terkait.
Konsumen Thailand, khususnya, akan sangat diuntungkan. Menurut Kepolisian Kerajaan Thailand, dalam tiga tahun dari 1 Maret 2022 hingga 31 Juli 2024, terdapat 612.603 pengaduan terkait ancaman online, dengan total kerugian mencapai THB 69.186 juta, rata-rata lebih dari THB 78 juta per hari.
Dr. Ammarin Pimnoo, Penasihat Komite Khusus untuk Regulasi dan Promosi Penggunaan Teknologi Kecerdasan Buatan untuk Mendukung Perubahan Masa Depan di Dewan Perwakilan Rakyat Thailand, menyebutkan bahwa komite tersebut sedang mempertimbangkan pedoman secara mendesak untuk mengatur penggunaan teknologi AI.
Ini termasuk potensi legislasi tentang kecerdasan buatan di Thailand, sebuah masalah yang juga menjadi perhatian banyak negara lain, untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi masalah yang timbul dari AI dan teknologi baru yang muncul.
Alice Pham, Direktur AP Research, Vietnam, menyoroti bahwa penipuan dan skema online yang menggunakan AI menyebabkan kerugian lebih dari USD 16,23 miliar pada tahun 2023, yang setara dengan 3,6% dari PDB Vietnam. Kementerian Keamanan Publik menangani 1.500 kasus terkait, dengan kerugian finansial antara USD 318-398 juta.
Kementerian Informasi dan Komunikasi melaporkan 17.400 pengaduan dari pengguna internet, dengan kerugian melebihi USD 12 juta. Negara ini menghadapi 24 jenis penipuan, termasuk pencurian identitas, peretasan akun akibat kartu SIM anonim, rekening bank yang tidak sah, pelanggaran data pribadi, dan munculnya teknologi baru seperti AI DeepFake.
Pemerintah Vietnam menangani masalah ini melalui serangkaian tindakan, termasuk penegakan undang-undang perlindungan konsumen, penyusunan legislasi industri teknologi digital, edukasi dan peningkatan kesadaran konsumen, penuntutan terhadap penipuan, dan mencari kerja sama internasional.
Gilly Wong Fung-han, Chief Executive dari Hong Kong Consumer Council, mencatat bahwa Hong Kong, sebagai pusat keuangan global dan pemimpin inovasi digital, sedang melaksanakan lebih dari 100 proyek transformasi digital. Pada Juli 2024, pembentukan Digital Policy Office bertujuan untuk mengembangkan kebijakan dan langkah-langkah untuk melindungi konsumen dari ancaman teknologi terkait AI.
Pada tahun 2023, penipuan belanja online menjadi masalah konsumen terbesar, dengan 32,28% dari total keluhan. Pada Mei 2024, 21 klip video deepfake yang menyamar sebagai pejabat pemerintah atau selebriti ditemukan, di mana warga Hong Kong ditipu sebesar USD 25 juta karena mereka percaya sedang melakukan panggilan video dengan seorang eksekutif senior keuangan dari perusahaan multinasional Inggris.
Tindakan pencegahan Hong Kong meliputi penggunaan alat seperti "Scameter" untuk deteksi penipuan online yang komprehensif, mempromosikan kesadaran konsumen, memantau pasar online dan offline, serta meningkatkan transparansi melalui platform seperti Online Price Watch dan Oil Price Watch. Selain itu, kerjasama internasional tetap menjadi komponen penting dalam memerangi ancaman ini.
[Redaktur: Andri Frestana]