Nofrizal melanjutkan, proyek ini juga bagian membantu Papua menikmati sumber daya alam sendiri, membangun bisnis LNG, serta memberikan bantuan dari sisi komersial, desain teknis, legal, dan lainnya.
"Harapannya, pada 2023 akhir atau awal 2024, kita sudah bisa memberikan revenue bagi PGNE dan revenue juga bagi Papua Barat," ujarnya.
Baca Juga:
Pertamina Buka UMK Academy 2024, 1.686 Pelaku Usaha Siap Naik Kelas
Inisiatif ketiga adalah LNG sebagai bahan bakar kereta api. Dari hasil uji statis, sistem dual fuel diesel-LNG mempunyai efisiensi lebih tinggi dibanding bahan bakar lain. Uji dinamis trayek Jakarta-Surabaya, efisiensi perjalanan KA Dharmawangsa lebih tinggi dari bahan bakar lain.
"Key factor LNG sebagai bahan bakar kereta ada di sumber LNG. Kita mengharapkan bisa segera mewujudkan terminal LNG di Pulau Jawa, sehingga secara komersial LNG bisa digunakan KAI dan menjadi bagian komitmen ESG mengurangi emisi," jelasnya.
Inisiatif keempat adalah LNG di kawasan pelabuhan sebagai salah satu bisnis masa depan Subholding Gas. Terdapat PP 31/2021 mengenai penerapan IMO 2020 perihal standar emisi dengan maksimum kandungan sulfur 0,5 persen.
Baca Juga:
Kasus LNG Pertamina, Karen Agustiawan Dituntut 11 Tahun Bui
Sebagian besar kapal masih menggunakan bahan bakar dengan emisi karbon dan sulfur di atas 0,5 persen. Oleh karena itu, ada peluang menyediakan bahan bakar dengan emisi rendah dan sulfur 0 persen.
"Kami akan menggunakan LNG power barge yang memiliki generator listrik di atas kapal dengan sumber energi LNG, ini bisa dikatakan sebagai power bank di atas kapal. Serta, LNG shore connection untuk memenuhi kebutuhan listrik ketika kapal tambat di pelabuhan," katanya.
Estimasi biaya listrik di kapal berbahan bakar HSD adalah Rp4.500-Rp5.000/kWh, sementara dengan power barge, kapal menghasilkan nol emisi dan lebih hemat biaya listrik 10-30 persen.