WahanaNews.co | Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal akan mengurangi likuiditas pada tahun 2022, setelah dua tahun belakangan BI jor-joran dalam mengguyur likuiditas dalam negeri.
“Tahun ini likuiditas sangat longgar. Tahun depan, akan sedikit-sedikit dikurangi. Namun, tetap longgar,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, Selasa (19/10/2021), via video conference.
Baca Juga:
BI: Redenominasi Rupiah Tidak Dilakukan dalam Waktu Dekat ini
Seperti diketahui, BI memang benar-benar berkomitmen dalam memastikan likuiditas longgar di perbankan.
Bahkan, dari awal tahun ini hingga 15 Oktober 2021, BI sudah melakukan quantitative easing (QE) sebesar Rp 129,92 triliun.
Selain itu, BI juga telah melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana untuk pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.
Baca Juga:
Hebat! Indonesia Catat Transaksi LCS Tidak Gunakan Dolar AS Sebesar Rp61 Triliun
Dari awal tahun hingga 15 Oktober 2021, tercatat BI sudah membeli SBN di pasar perdana sebesar Rp 142,54 triliun, terdiri dari Rp 67,08 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp 75,46 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO).
Nah, setelah di sepanjang tahun depan mengurangi likuiditas, BI juga memberi sinyal untuk mengubah arah kebijakan suku bunga acuan pada semester II-2021.
Dalam dua tahun terakhir, suku bunga memang bergerak rendah.
Bahkan, dalam Rapat Dewan Gubernur RDG BI bulan ini pun, bank sentral masih mempertahankan suku bunga untuk bergerak di level 3,50%, terendah sepanjang sejarah.
“Tahun ini suku bunga tetap rendah, likuiditas tetap longgar. Tahun depan masih akan rendah, tetapi kemungkinan di paruh kedua tahun depan atau kemungkinan di kuartal IV 2021 baru memikirkan tentang suku bunga acuan,” terangnya.
Hal ini juga sejalan dengan arah kebijakan bank sentral dunia yang mulai melakukan pengurangan likuiditas seiring dengan peningkatan tingkat inflasi dan pemulihan ekonomi.
Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat (AS).
Untuk itu, Perry memandang perlunya langkah dari BI untuk tetap melakukan langkah antisipasi agar tak memengaruhi pasar keuangan dalam negeri, termasuk pergerakan nilai tukar rupiah.
Namun, Perry tetap meyakinkan bahwa bauran kebijakan penyesuaian yang diambil oleh BI di tahun depan akan tetap pro pertumbuhan ekonomi (pro growth). [qnt]