WahanaNews.co | Bank Indonesia terus pertahankan era suku bunga murah di tengah tren kenaikan suku bunga global agar bank-bank sentral kendalikan lonjakan inflasi.
BI pertahankan bunga di level terendah sejarah selama 17 bulan berturut-turut sejak Februari 2021.
Baca Juga:
Capaian Kolaborasi Kendalikan Inflasi Pangan di Papua Barat Daya Tahun 2024, Bank Indonesia Perwakilan Papua Barat Gelar Torang Locavore
Langkah BI memang berbeda dari banyak bank sentral global yang telah menaikkan suku bunga, termasuk The Federal Reserve.
BI tak tergerak meski The Fed diperkirakan kembali agresif menaikkan bunga pada pekan depan sebesar 75 bps.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan untuk mempertahankan suku bunga ini konsisten dengan perkiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap perekonomian dalam negeri.
Baca Juga:
Bank Indonesia Kaltim: Pembangunan IKN Berdampak Positif pada Perekonomian Daerah
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi inti pada Juni 2022 masih terjaga di level 2,63% secara tahunan meski inflasi secara umum telah melewati target BI yakni 4,35% secara tahunan.
"BI tetap akan terus mewaspadai risiko kenaikan inflasi dan inflasi inti ke depan, serta memperkuat respons bauran moneter yang diperlukan, baik melalui stabilitas nilai tukar, penguatan operasi moneter, dan suku bunga," kata Perry dalam konferensi pers, Kamis (21/7/2022).
Perry mengatakan, keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga juga diambil untuk menjaga pemulihan ekonomi domestik di tengah ancaman perlambatan ekonomi global dan stagflasi di banyak negara.
"Keputusan suku bunga BI berdasarkan pada perkiraan inflasi, khususnya inflasi inti dan tentunya juga mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi. Ini yang sering kami sebut ada pertimbangan antara stabilitas dan growth," ujarnya.
Sekali lagi, keptuusna subung BI rate didasarkan pd perkirana inflais ke depan khsusnya inflais inti dan tentunya implikasinya eprtimbangan nya jga pd PE.
Ia memperkirakan, perekonomian global tumbuh lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya dar 3,5% menjadi 2,5%. Risiko stagflasi juga meningkat di banyak negara seiring tekanan inflasi global meningkat akibat lonjakan harga komoditas, gangguan rantai pasokan global, hingga meluasnya kebijakan proteksionisme pada komoditas pangan.
"Beberapa negara seperti Amerika Serikat telah merespons dengan pengetatan moneter dan kenaikan suku bunga yang lebih agresif sehingga menahan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko stagflasi," kata Perry.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, menurut Perry, terutama akan dialami Amerika Serikat, Eropa, Cina, Jepang, dan India.
Potensi perlambatan ini pun perlu diwaspadai agar tak berdampak ke ekonomi domestik.
Ia melihat pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua masih akan terus berlanjut ditopang oleh peningkatan konsumsi dan investasi.
Hal ini terlihat dari sejumlah indikator perekonomian, seperti kepercayaan konsumen, penjualan eceran, PMI manufaktur, serta kinerja ekspor dan impor.
Meski demikian, menurut Perry, potensi kenaikan inflasi pada semester kedua yang disebabkan oleh dampak global berpotensi menahan laju pertumbuhan domestik.
Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada di bawah titik tengah proyeksi Bank Indonesia sebesar 4,5% hingga 5,3%.
BI juga memperkirakan, inflasi pada tahun ini akan lebih tinggi dari target maksimal sebesar 4%.
Namun demikian, menurut Perry, inflasi inti yang menjadi indikator BI dalam menentukan kebijakan suku bunga tetap akan terkendali di bawah 4%.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang juga selama ini selalu menjadi pertimbangan BI terkait kebijakan suku bunga terpantau relatif stabil dibandingkan mata uang negara Asia lainnya.
Menurut Perry, rupiah memang mengalami kenaikan tekanan akibat ketidakpastian di pasar keuangan global. Namun, kondisi serupa juga dialami mata uang regional.
Berdasarkan catatan BI, nilai tukar rupiah hingga 20 Juli 2022 telah terdepresiasi 4,90% dibandingkan dengan level akhir 2021.
Depresiasi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Malaysia 6,41%, India 7,07%, dan Thailand 8,88%.
"BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi," kata Perry. [rsy]