Sinkronisasi dengan KUHAP, KUHP, dan aturan sektoral seperti perbankan, fidusia, kepailitan, maupun perlindungan data juga dinilai penting agar tidak terjadi tumpang tindih yang berisiko merugikan pelaku usaha dan konsumen.
Mufti menambahkan, kelembagaan pelaksana harus jelas, ramping, dan diawasi lintas lembaga, supaya pemulihan aset bisa efektif tanpa menambah biaya kepatuhan publik.
Baca Juga:
Prabowo Terima Aspirasi Serikat Pekerja, Bahas RUU Ketenagakerjaan hingga Reformasi Pajak
Ia menekankan bahwa kesalahan desain dalam definisi, beban pembuktian, atau prosedur eksekusi dapat berdampak langsung pada masyarakat, misalnya rekening yang dibekukan tanpa kepastian, aset sah ikut terdampak, atau konsumen beritikad baik terkena imbas.
Karena itu, lanjut Mufti, partisipasi publik harus dimaksimalkan, termasuk melalui uji dengar pendapat dengan komunitas konsumen, akademisi, dan pelaku usaha, sebelum pengesahan.
"Negara memang harus tegas melawan korupsi dan kejahatan ekonomi, tetapi jangan mencederai hak rakyat," jelas Mufti.
Baca Juga:
Prabowo Dengarkan Aspirasi Tokoh Lintas Agama dan Tegaskan Komitmen Perjuangkan RUU Perampasan Aset
"Kami mendukung penuh upaya negara untuk merampas aset hasil korupsi dan kejahatan ekonomi. Namun, jangan sampai rakyat yang jujur, taat hukum, dan beritikad baik ikut terdampak karena aturan yang terburu-buru. RUU ini harus dikaji secara cermat, transparan, dan melibatkan partisipasi publik. Jangan sampai yang lahir adalah instrumen hukum yang melukai rakyat, padahal tujuan utamanya untuk melindungi rakyat," tambahnya.
BPKN juga menekankan agar regulasi ini selaras dengan UUD 1945, terutama Pasal 28H ayat (4) mengenai jaminan hak kepemilikan serta Pasal 28D ayat (1) tentang kepastian hukum yang adil.
"RUU harus memberi rambu due process of law dan proporsionalitas agar tetap konstitusional," terang Mufti.