WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena mencengangkan kembali mencuat dari laporan resmi negara: pengeluaran rokok oleh masyarakat miskin di Indonesia ternyata masih jauh lebih tinggi dibandingkan kebutuhan protein seperti telur dan daging ayam.
Mengutip Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis akhir Juli ini membuka fakta menyedihkan bahwa kebiasaan merokok tak hanya menjadi pengeluaran rutin, tetapi bahkan menempati posisi kedua terbesar setelah beras dalam struktur belanja keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Baca Juga:
Pesantren Diakui Jadi Kunci Pemberdayaan Desa, Cak Imin: Peran Mereka Sangat Vital
BPS menyatakan, di kawasan perkotaan, masyarakat miskin menghabiskan 10,72 persen pengeluarannya untuk rokok, dua kali lipat lebih besar dari belanja telur ayam ras yang hanya 4,50 persen dan daging ayam 4,22 persen.
Angka ini menunjukkan bahwa rokok bukan sekadar konsumsi tambahan, melainkan sudah menyaingi kebutuhan pangan penting.
Situasi serupa juga terjadi di wilayah perdesaan, di mana masyarakat miskin mengalokasikan sekitar 9,99 persen belanja bulanannya untuk rokok, sementara telur hanya 3,62 persen dan daging ayam ras 2,98 persen.
Baca Juga:
Prabowo Tegaskan Komitmen Hilangkan Kemiskinan Jauh Sebelum Indonesia Emas
“Ini menandakan adanya ketidakseimbangan dalam prioritas konsumsi,” ujar seorang pengamat kebijakan publik yang menyoroti tren tersebut.
Di sisi lain, belanja untuk beras tetap menjadi yang tertinggi bagi keluarga miskin, yakni 21,06 persen di perkotaan dan 24,91 persen di perdesaan.
Namun yang mengejutkan, setelah beras, justru rokok yang menjadi prioritas kedua, mengalahkan makanan bergizi lainnya.
Selain pengeluaran untuk makanan, keluarga miskin juga tercatat mengeluarkan biaya cukup besar untuk kebutuhan non-makanan seperti tempat tinggal, bahan bakar, listrik, perlengkapan mandi, hingga biaya pendidikan.
Di kawasan perkotaan, kebutuhan tempat tinggal menghabiskan 9,11 persen pengeluaran, bensin 3,06 persen, listrik 2,58 persen, dan pendidikan 2,07 persen.
Sementara di perdesaan, belanja perumahan mencapai 8,99 persen, bensin 3,03 persen, dan listrik 1,52 persen.
Garis kemiskinan Indonesia pada Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, meningkat 2,34 persen dibandingkan data pada September 2024.
BPS menggunakan 52 jenis komoditas untuk menghitung garis kemiskinan makanan, sementara garis kemiskinan non-makanan mencakup 51 komoditas untuk kawasan perkotaan dan 47 komoditas untuk wilayah perdesaan.
Makanan menyumbang porsi terbesar dalam garis kemiskinan, yakni 73,67 persen di perkotaan dan 76,07 persen di perdesaan.
Di antara kebutuhan pangan, beras mendominasi pengeluaran dengan kontribusi 21,06 persen di kota dan 24,91 persen di desa.
Rokok kretek filter menyusul dengan 10,72 persen di kota dan 9,99 persen di desa, disusul telur dan daging ayam ras, serta komoditas lain seperti mie instan, gula pasir, kopi bubuk, roti, kue basah, bawang merah, hingga cabai rawit.
Sementara itu, kategori non-makanan menyumbang 26,33 persen dari total pengeluaran masyarakat miskin di perkotaan dan 23,93 persen di perdesaan.
Selain perumahan, bensin, dan listrik, perlengkapan mandi dan biaya pendidikan juga menjadi komponen penting.
Di kota, warga miskin menghabiskan 1,31 persen untuk perlengkapan mandi dan 2,07 persen untuk pendidikan, sedangkan di desa masing-masing sebesar 1,15 persen dan 1,25 persen.
Ada juga pengeluaran untuk perawatan kulit, sabun cuci, hingga kesehatan, meski porsinya tidak sebesar komoditas lainnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa kebiasaan konsumsi rokok di kalangan keluarga miskin di Indonesia masih menjadi persoalan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari pembuat kebijakan.
Saat kebutuhan nutrisi penting justru tersingkir oleh pembelian rokok, maka program pengentasan kemiskinan tidak hanya perlu menyasar aspek ekonomi, tetapi juga budaya konsumsi dan edukasi kesehatan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]