WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara sekaligus mantan anggota DPR 2004–2008 Mahfud MD mengungkapkan penghasilan anggota DPR saat ini jauh lebih tinggi daripada yang diketahui publik, bahkan bisa menembus miliaran rupiah per bulan, bukan Rp 230 juta.
Hal tersebut disampaikannya saat menjawab pertanyaan host Rizal Mustary di siniar 'Terus Terang' pada kanal YouTube Mahfud MD Official, Kamis (28/8/2025).
Baca Juga:
Penangkar Buah Asal Vietnam Study Banding ke Binjai Perdalam Pembudidayaan Cempedak Guling
Mahfud memulai penjelasannya dengan mengingat kondisi masyarakat yang masih banyak mengalami kesulitan ekonomi, termasuk gelandangan yang mengais tempat sampah untuk mencari makanan, sehingga wajar jika DPR dikritik karena menerima gaji dan tunjangan besar.
"Jadi benar kalau kemudian DPR banyak dikritik karena tarolah agak hedonis juga kan hidupnya mereka, jadi kita harus maklumi rakyat," ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, penghasilan anggota DPR saat ini sudah sangat berlebihan, dan ia mendengar bahwa gaji anggota DPR setiap bulannya sebenarnya menembus angka miliaran rupiah, di luar gaji rutin Rp 230 juta yang biasanya untuk keluarga, rumah, dan tunjangan tambahan.
Baca Juga:
TPST 1 IKN Jadi Acuan Pengelolaan Sampah Regional, MARTABAT Prabowo-Gibran Imbau Daerah Lain Studi Banding ke Ibu Kota Nusantara
"Waktu zaman saya itu uang reses 3 bulan sekali sudah Rp 42 juta. Dapat lagi uang berkunjung ke konstituen. Dapat lagi setiap 1 UU yang dibahas Rp 5 juta, berapa UU dalam setahun? Itu kecil banget. Rp 232 juta itu apa? Itu kan yang rutin bulanan. Gaji pokok waktu saya Rp 4,8 juta, ada tunjangan jabatan, istri, rumah, transportasi, dan sebagainya," jelas Mahfud.
Mahfud menambahkan, publik hanya mengetahui gaji rutin, tunjangan jabatan, dan uang sidang, padahal anggota DPR juga berhak mengikuti studi banding ke luar negeri setiap membahas satu undang-undang, dengan biaya perjalanan dan uang saku yang cukup besar.
Ia menceritakan pengalaman tawaran studi banding saat menjadi anggota Pansus UU Pemilu, yang tetap berlaku meski ia sudah pindah menjadi Ketua MK, dan menolak karena merasa hak itu tidak relevan baginya.