WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gelombang penolakan buruh terhadap kebijakan pengupahan pemerintah kembali menguat.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Jawa Barat Roy Jinto Ferianto memastikan aksi unjuk rasa akan digelar serentak di berbagai daerah sebelum berujung ke Istana Kepresidenan pekan depan.
Baca Juga:
Arnod Sihite Dorong INKOP TKBM Jadi Soko Guru Ekonomi Kerakyatan
"Kita minggu depan turun aksi. Hari ini katanya PPnya (Peraturan Pemerintah) keluar sesuai dengan rilis, aksi akan dimulai di kabupaten/kota masing-masing dan provinsi, setelah itu ke istana," kata Roy yang juga Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) melansir CNBC Indonesia, Rabu (17/12/2025).
Rencana aksi ini muncul setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan. Buruh menilai substansi aturan tersebut tidak menjawab tuntutan kesejahteraan pekerja, terutama soal besaran kenaikan upah minimum, pasalnya formula yang digunakan justru mengunci kenaikan pada level yang sangat rendah.
"Presiden RI telah menandatangani PP Pengupahan, sebagaimana rilis yang disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI, dimana kenaikan upah minimum masih menggunakan formula Alfa (indeks tertentu) dari angka 0,5 s.d 0,9, maka kalau kita formulasikan dengan pertumbuhan ekonomi+ inflasi x Alfa 0,5 maka kenaikan upah minimum hanya di angka 3 sampai 4% saja," ujar Roy.
Baca Juga:
Musda Ke- III FSP RTMM Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Provinsi Jambi, Asnawi Alamsyah Terpilih Sebagai Ketua
Menurut Roy, penggunaan indeks alfa dalam PP Pengupahan dinilai keliru karena tidak sejalan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Buruh menilai pemerintah pusat telah mengambil alih kewenangan yang seharusnya berada di daerah, khususnya dalam menentukan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Sedangkan putusan MK mengamanatkan indeks tertentu/Alfa merupakan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota sehingga dengan demikian harusnya indeks tertentu tersebut harus ditentukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi untuk UMP, dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota untuk penentuan UMK, karena masing-masing daerah tentu akan berbeda nilai indeks tertentunya, tidak bisa dibatasi oleh pemerintah pusat, dan upah minimum harus juga memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) sebagaimana putusan MK No 168," tegasnya.
Masalah lain yang disorot buruh adalah sempitnya waktu penetapan upah minimum. Tenggat waktu yang diberikan pemerintah dinilai membuat proses perundingan di tingkat daerah berjalan tidak ideal dan berpotensi hanya menggugurkan kewajiban administratif semata.