WahanaNews.co | Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) perlu dikaji ulang.
Pasalnya, aturan mengenai cuti melahirkan 6 bulan dan cuti suami selama 40 hari dirasa tidak selaras dengan tujuan dari RUU KIA sendiri dalam hal melindungi generasi penerus.
Baca Juga:
Bukan Ditikam, Kematian Wanita Hamil di Kelapa Gading Ternyata Gara-gara Aborsi
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani. Dia mengatakan, masalah yang terlihat saat ini lebih kepada para ibu yang mengalami permasalahan dengan kesehatan dirinya dan anaknya, terutama para penderita stunting.
"Yang bermasalah itu bagaimana kita menyejahterakan masyarakat kita khususnya ibu-ibu yang mengalami problem dengan kesehatan anaknya, yaitu yang mengalami stunting. Yang mengalami stunting ini karena kurang gizi," ujar Haryadi, di Kantor APINDO, Kuningan, Jakarta Selatan pada Senin (04/07/2022).
Menurutnya, kasus kurang gizi yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan oleh perolehan pendapatan yang rendah hingga tak mampu memenuhi kebutuhan gizi sang anak.
Baca Juga:
Mertua Pembantai Menantu Hamil 7 Bulan di Pasuruan Berstatus Duda
Lebih lanjut, Hariyadi mengatakan perpanjangan cuit justru akan memberikan efek kontraproduktif bagi para wanita usia muda.
"Kami dari APINDO juga melakukan survei secara terbatas dengan mengambil sampel pada sektor yang kita pandang berkorelasi dengan isu ini, ternyata responnya menarik. Dari wanita yang usia produktif ini justru kebanyakan tidak setuju," tuturnya.
Dia menerangkan, ada beberapa alasan yang melandasi ketidaksetujuan para wanita terhadap RUU KAI itu. Salah satu alasannya ialah jika tidak masuk terlalu lama, mereka bisa kehilangan posisi dan tergantikan dengan orang lain.
Tidak hanya itu, aturan mengenai cuti yang diberikan selama 40 hari kepada suami pun berpotensi menimbulkan masalah.
"Jadi perusahaan ini untuk melihat bahwa mengambil wanita di usia produktif itu menimbulkan cost. Karena cost kan yang menanggung perusahaan. Nah, ini membuat perusahaan berpikir 'wah jangan ambil yang itu deh, segmen yang itu (wanita usia produktif)," tuturnya.
Hariyadi menuturkan, pihaknya sudah menyurati Pemerintah dan DPR dan meminta untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut hingga menghasilkan keputusan terbaik.
Apalagi, kata Haryadi, pihaknya melihat sampling dari naskah akademik RUU tersebut dirasa masih kurang.
"Hanya ada 1 perusahaan yang dilakukan riset, itu yang perlu kita lihat lagi. Sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih luas," ujar Hariyadi.
"Harapan kami ini perlu pendalaman supaya kita tidak mengambil keputusan yang keliru yang justru kontraproduktif kaum wanita kita yang dalam usia produktif," tambahnya.
Melihat arah kebijakannya yang dirasa kurang tepat, Hariyadi menyarankan untuk dilakukannya pengkajian kembali, kembali lagi kepada tujuan utama UU tersebut dibuat.
"Balik lagi ini UU buat apa sih diberlakukan? Kita lihat kalau untuk kesejahteraan ibu dan anak, bukannya yang disasar wanita yang mendapatkan akses pekerjaan layaknya kurang? Jadi ini yang menurut saya nggak bener deh," ujar Hariyadi.
"Jadi lihat lagi semuanya, melibatkan yang betul-betul yang menjadi sasaran UU ini dilihat lagi seperti apa dan tadi yang paling penting adalah substansinya, masa mau nyelesain stunting yang diurusin cuti hamilnya, kan nggak nyambung. Kan nggak ada korelasinya," tambahnya. [qnt]