WahanaNews.co, Jakarta - Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menyatakan bahwa kolaborasi dalam transisi energi adalah kunci penting untuk keseimbangan trilema energi, yakni security, affordability, dan sustainability. Karena itu, PLN akan terus memperkuat kolaborasi dengan komunitas energi dunia.
Dalam ASEAN-Indo-Pacific Forum (AIPF) 2023, Darmawan memaparkan bahwa seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, permintaan pasokan listrik ikut meningkat.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan ketahanan energi ini yang menjadi tantangan bersama.
"Untuk menjalankan komitmen ini, Indonesia tidak bisa berjalan sendiri. Memang tantangannya sangat besar, namun dengan adanya forum seperti AIPF ini memberi kita keyakinan, apapun tantangannya, kita akan terus melangkah maju bersama-sama," kata Darmawan.
Menurutnya, potensi transisi energi kini semakin besar, karena tarif listrik dari energi baru terbarukan (EBT) yang semakin murah. Tetapi, ada kendala berupa pembiayaan, terlebih pembangkit EBT cenderung membutuhkan investasi capital expenditure besar di awal, meski ongkos operasionalnya relatif lebih murah.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Dalam dua tahun terakhir, PLN telah menjalankan berbagai upaya transisi energi, termasuk pembatalan rencana pembangunan 13,3 Gigawatt (GW) pembangkit batubara, mengganti 1,1 GW pembangkit batubara dengan EBT, serta penetapan 51,6 persen penambahan pembangkit berbasis EBT.
"Kami sedang dalam proses merancang dan mendesain ulang perencanaan ketenagalistrikan nasional. Dengan sistem baru ini, kami memahami adanya ketidaksesuaian antara sebagian besar sumber EBT dengan pusat beban, sehingga kami akan membangun green enabling super grid untuk menghubungkannya," lanjut Darmawan.
Tak hanya itu, saat ini PLN pun tengah mendesain dan membangun end-to-end smart grid. Dengan jaringan baru ini, porsi pembangkit energi surya dan angin dapat ditingkatkan dari 5 GW menjadi 28 GW.
Darmawan menjelaskan, pengembangan green enabling super grid dan end-to-end smart grid semakin mendesak untuk mengatasi ketidaksesuaian sumber EBT dengan pusat demand listrik, sekaligus mengakomodasi penetrasi EBT variable yang sangat masif. Ke depannya, sistem ini yang akan digunakan untuk mendukung pembangunan ASEAN Power Grid.
Sistem itu kemudian diproyeksikan akan mampu menghubungkan transmisi lintas negara-negara di ASEAN, mulai Laos, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Singapura, hingga Indonesia.
"ASEAN Power Grid bukan hanya soal listrik. Namun hal ini mencerminkan kekuatan baru ASEAN. Mencerminkan perubahan ASEAN yang sebelumnya terfragmentasi menjadi ASEAN yang bersatu, demi satu tujuan, kemakmuran bagi kawasan Asia Tenggara," kata Darmawan.
CEO Canada Business Council Goldy Hyder sepakat bahwa upaya menjalankan transisi energi tidak bisa mengabaikan keterjangkauan dan ketahanan energi. Dia menyatakan, langkah transisi energi juga perlu mengedepankan aspek keberlanjutan dan kemakmuran masyarakat global.
"Prinsip utama dalam mencapai sebuah target tidak bisa mengabaikan ketahanan energi, prinsip yang berkelanjutan dan juga keterjangkauan. Langkah-langkah perlu dipetakan secara matang dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat," kata Hyder.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]