WAHANANEWS.CO, Jakarta - Konsumen di Indonesia dihadapkan pada fakta mengejutkan. Beras yang selama ini dibeli di minimarket hingga pusat perbelanjaan, ternyata banyak yang tidak sesuai standar mutu dan takaran.
Praktik oplosan terindikasi terjadi secara masif, merugikan konsumen dan melemahkan kepercayaan terhadap pasar beras nasional.
Baca Juga:
Urgensi Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen di Pasar Pangan
Satgas Pangan Polri menemukan adanya peredaran 13 merek beras oplosan di pasaran.
Temuan ini berasal dari hasil pemeriksaan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri terhadap sejumlah produsen dan distributor besar.
“Betul, masih dalam proses pemeriksaan,” ujar Dirtipideksus Brigjen Helfi Assegaf kepada wartawan, Jumat (11/7/2025).
Baca Juga:
Amran Sulaiman: Kecurangan Beras Sama Seperti Menjual Emas Palsu ke Rakyat
Merek-merek yang masuk dalam daftar temuan di antaranya Sania, Sovia, Fortune, dan Siip yang diproduksi Wilmar Group. Lalu, ada juga merek seperti Beras Premium Setra Ramos, Food Station, Setra Pulen, dan Ramos Premium buatan Food Station Tjipinang Jaya.
Selain itu, terdapat Raja Platinum dan Raja Ultima produksi PT Belitang Panen Raya, serta merek Ayana milik PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Perusahaan-perusahaan yang kini tengah dimintai keterangan oleh penyidik antara lain Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari.
Kepala Divisi Unit Beras PT SUL, Carmen Carlo Ongko, menegaskan bahwa pihaknya menghormati proses hukum dan siap memberikan dukungan sepenuhnya kepada Satgas Pangan Polri.
“Dalam menjalankan operasional bisnis, kami memastikan seluruh proses produksi dan distribusi beras PT SUL dijalankan sesuai dengan standar mutu dan regulasi yang berlaku,” kata Carmen dalam pernyataan resminya, Sabtu (12/7/2025).
Ia menambahkan bahwa pengawasan internal dilakukan secara berkala, mencakup takaran, kebersihan, dan pelabelan produk. Meski hasil akhir pemeriksaan belum diterima, pihaknya tetap terbuka untuk evaluasi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya, Karyawan Gunarso, menyatakan masih akan mengecek dan berkoordinasi terkait temuan tersebut. “Saya akan koordinasi, dan men-cross check dulu,” ujarnya singkat.
Lebih luas, investigasi Kementerian Pertanian menemukan 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan melanggar harga eceran tertinggi (HET).
Pemeriksaan dilakukan terhadap beras premium dan medium di 10 provinsi dengan potensi kerugian konsumen mencapai Rp99 triliun.
Dari 136 merek beras premium yang diuji, 85,56 persen tidak sesuai standar mutu, 59,78 persen melebihi HET, dan 21 persen tidak sesuai berat. Bahkan, sejumlah kemasan lima kilogram hanya berisi empat kilogram beras.
Sementara pada beras medium, 88 persen tidak sesuai mutu, 95 persen melebihi HET, dan 10 persen tak sesuai takaran.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyoroti anomali harga beras yang tinggi di pasar, padahal stok nasional cukup berlimpah, bahkan melampaui target produksi.
“Kami mengajak semua pelaku usaha beras untuk segera koreksi. Ini tidak boleh dibiarkan dan harus dihentikan mulai hari ini,” tegas Amran.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menilai bahwa data tersebut mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di sektor pangan.
“Jadi memang perlu efek jera, misal mencabut izin usaha atau denda berkali-kali lipat,” kata Eliza.
Ia menyebut praktik oplosan yang dianggap biasa di pasar induk menandakan normalisasi pelanggaran dan kegagalan sistem pengawasan.
Menurutnya, sistem distribusi beras di Indonesia sangat oligopolistik dan tidak berpihak pada petani maupun konsumen.
Kondisi ini diperburuk oleh asimetri informasi di pasar. Konsumen tidak memiliki akses yang cukup untuk mengetahui kualitas, komposisi, atau asal usul beras yang mereka beli.
“Nah pedagang yang melakukan praktik oplosan pun itu memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability ini untuk memaksimalkan keuntungan. Ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai kualitas yang dijanjikannya,” jelas Eliza.
Sebagai solusi, Eliza menekankan perlunya reformasi rantai pasok dengan memperpendek jalur distribusi serta penguatan pelabelan dan sertifikasi mutu produk.
Langkah ini diperlukan demi menjaga kepercayaan konsumen terhadap pasar beras nasional dan mencegah keresahan sosial akibat manipulasi komoditas pangan yang sangat sensitif.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]