Menurut pandangannya, ketergantungan pada bahan bakar fosil inilah yang kemudian dapat menjadi penyebab terjadinya greenflation ketika harga sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi.
“Indonesia kan sebagian besar bahan bakar minyak (BBM) diimpor. Kalau harga dan permintaan minyak dunia naik dan pemerintah sudah tidak sanggup memberikan subsidi, maka akan ada transisi tidak teratur dari bahan bakar ramah lingkungan dan berujung pada greenflation,” kata Fahmy, mengutip Kompas.com, Senin (22/1/2024).
Baca Juga:
Keren, Empat Kali Debat Capres-Cawapres dari Sembilan Stasiun TV Berhasil Jangkau 394 Juta Penonton
Lebih lanjut, Fahmy menuturkan, kunci dari menekan terjadinya greenflation di Indonesia adalah upaya pemerintah dalam memberikan subsidi BBM.
Sebab, subsidi yang diberikan pemerintah akan menekan harga minyak dunia sehingga tidak terlalu bergejolak dan berpengaruh pada harga BBM dalam negeri.
Namun, ketika subsidi BBM mulai ditarik, hal ini akan memicu greenflation karena kenaikan bahan bakar fosil.
Baca Juga:
KPU RI Ungkap Empat Kali Debat Capres-Cawapres Berhasil Jangkau 394 Juta Penonton dari Sembilan Stasiun TV
“Apalagi, kalau subsidi yang ditarik secara penuh pada energi fosil tertentu seperti Pertalite, Solar, dan Elpiji 3 kg. Ini akan menyebabkan greenflation di Indonesia,” katanya.
Fahmy menyatakan bahwa kemungkinan munculnya greenflation dapat terjadi dalam rentang waktu sekitar 10-15 tahun ke depan.
Alasannya adalah Indonesia diperkirakan akan memulai implementasi ekonomi hijau dalam periode tersebut, yang berpotensi memicu terjadinya greenflation.