WahanaNews.co | Kenaikan harga batubara internasional memperlebar selisih harga jual pasar internasional dengan harga jual untuk pembangkit listrik dalam negeri.
Kondisi ini dinilai berpotensi mengancam kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik milik PLN.
Baca Juga:
Soal Eks Bupati Batubara Urus SKCK Meski Sudah DPO, Polres Buka Suara
kendati demikian, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memastikan pasokan batubara untuk pembangkit listrik masih berada dalam level aman.
Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengungkapkan pasokan kini dalam kondisi aman dengan level 19 Hari Operasi (HOP).
Gregorius melanjutkan, meskipun PLN membeli batubara dengan harga yang dipatok sebesar US$ 70 per ton, kenaikan harga batubara secara internasional berpotensi memberi dampak.
Baca Juga:
Kasus Suap Seleksi PPPK, Eks Bupati Batubara Zahir Jadi Tersangka
Pasalnya, selisih harga antara harga jual internasional dengan harga jual ke pembangkit listrik kini kian lebar.
"Hal tersebut berpotensi menyebabkan pemasok lebih memilih untuk menjual batu baranya ke luar negeri yang dapat mempengaruhi kebutuhan dalam negeri," ungkap Gregorius, Rabu (3/8).
Menyikapi situasi ini, Gregorius menegaskan, PLN bersama-sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan sektor batubara selalu melakukan kordinasi dan sinergi untuk penyempurnaan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).
Salah satu upaya tersebut juga melalui pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Batubara yang hingga kini masih berproses. Kehadiran BLU batuabra diharapkan memberikan keadilan untuk semua pihak. Sementara itu, upaya pengawasan untuk keamanan pasokan batubara juga terus dilakukan oleh manajemen PLN.
"Sejak awal tahun 2022, PLN telah melakukan perubahan paradigma dalam monitoring dan pengendalian pasokan batu bara, yang semula berfokus pada pengawasan di titik bongkar (estimated time of arrival/ETA) menjadi berfokus di titik muat/loading," jelas Gregorius.
Gregorius mengungkapkan, dengan langkah ini maka jika ada potensi kegagalan pasokan yang diakibatkan oleh ketersediaan batubara maupun armada angkutan dapat dideteksi lebih dini. Dengan demikian, langkah perbaikan dan antisipasi dapat dilakukan dengan lebih cepat.
Selain itu, PLN pun juga telah mengintegrasikan sistem pengawasan digital dengan sistem di Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM. Dengan demikian, potensi kebutuhan batubara untuk jangka waktu ke depan dapat diperhitungkan.
Sebelumnya, EVP Batubara PT PLN (Persero) Sapto Aji Nugroho mengungkapkan sejumlah tantangan dalam upaya pemenuhan batubara untuk pembangkit listrik perusahaan setrum pelat merah ini.
Menurutnya, para pemasok lebih memilih menjual batubara untuk industri semen di mana harga patokannya lebih tinggi yakni sebesar US$ 90 per ton. Bahkan, pasokan juga umumnya akan lebih diutamakan untuk sektor smelter dimana harga yang dikenakan mengikuti harga pasar.
"Nah ini yang membuat kami di PLN ini pilihan terakhir ketika pemasok yang ingin menunaikan kewajibannya DMO di dalam negeri," ungkap Sapto dalam Diskusi Publik BLU Batubara, Selasa (2/8).
Sapto melanjutkan, merujuk pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 13/2020, perusahaan yang spesifikasi batubaranya di luar kebutuhan PLN maka akan dikenakan beban kompensasi.
Sementara itu, untuk perusahaan yang memiliki spesifikasi sesuai kebutuhan serta berkontrak dengan PLN, namun tidak memenuhi kontrak akan dikenakan penalti. Kendati demikian, selisih antara kompensasi dan penalti ini dinilai cukup lebar.
Sapto mengungkapkan, saat ini pemenuhan batubara untuk pembangkit PLN cukup tertolong dengan skema penugasan yang dilakukan oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
Lewat skema ini, Kementerian ESDM menunjuk pelaku usaha tertentu untuk memenuhi batubara bagi PLN.
"Namun tentunya hal ini bersifat sementara, tidak bisa secara terus-menerus atau permanen," ungkap Sapto.
Sapto pun berharap pemerintah segera merealisasikan pembentukan BLU Batubara. Kehadiran BLU Batubara dinilai bisa menjadi solusi atas disparitas harga internasional dan harga DMO yang timbul saat ini.
Sapto pun memastikan, dalam skema BLU Batubara ini, PLN tetap akan membayar dengan harga US$ 70 per ton. Nantinya, selisih harga akan ditanggung secara gotong-royong oleh para penambang dan langsung dibayarkan BLU kepada para penambang.
Sapto melanjutkan, kebutuhan batubara untuk kelistrikan nasional di tahun 2022 mencapai 130 juta ton. Kebutuhan ini pun akan terus meningkat hingga 155 juta ton di 2030 mendatang.
Menurutnya, untuk tahun 2022 ini kebutuhan PLN meningkat dari besaran yang ditetapkan dalam RKAP tahun 2022. Dari total kebutuhan yang semula 66,4 juta ton untuk tahun ini, kebutuhan batubara diprediksi melonjak hingga 84,7 juta ton.
"Kenapa terjadi peningkatan kebutuhan, karena begitu covid membaik, ekonomi Indonesia berkembang dengan pesat," terang Sapto.
Ia mengungkapkan, pemulihan ekonomi ini turut mendorong peningkatan permintaan listrik. Lebih jauh, kebutuhan batubara pun juga menjadi lebih tinggi dari besaran semula yang ditetapkan dalam RKAP. [rin]