WahanaNews.co | Pada awal Maret, harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex mengalami kenaikan harga mengikuti harga minyak mentah dunia.
Sementara harga Pertamax dan Pertalite tetap yakni masing-masing Rp 9.000 dan Rp 7.650.
Baca Juga:
680 Liter Pertalite Diamankan, Sat Reskrim Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Diduga Lakukan Penyalahgunaan BBM
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan kebijakan menahan harga jual Pertalite merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan Pertamina di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih tertekan akibat kenaikan harga dan kelangkaan beberapa komoditas kebutuhan pokok.
“Saya kira kepedulian dan niat baik Pertamina tersebut sangat positif pada masyarakat,” ujar Komaidi dalam keterangannya Senin (7/2/2022).
Dia mengatakan keputusan Pertamina menaikan harga BBM dengan nilai real octane number (RON) tinggi serta elpiji nonsubsidi, merupakan kewenangan badan usaha.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Tindak Tegas SPBU Nakal
Hal ini merupakan sebuah kewajaran dan dan memiliki landasan kuat. Sementara menentukan harga Pertalite dan Pertamax yang merupakan produk nonsubsidi relatif sulit karena Pertamina harus mendapat restu dari pemegang saham yakni pemerintah.
Dia mengatakan kepedulian atau pemberian subsidi merupakan wilayah administrasi negara sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan badan usaha. Sedangkan tugas Pertamina sebagai badan usaha adalah mencari keuntungan untuk kemudian dikembalikan kepada seluruh rakyat Indonesia. “Perlu ada penataan ulang mengenai pembagian peran tersebut,” ucapnya.
Menurut Komaidi, sulit memprediksi puncak harga minyak dunia karena akan dipengaruhi berbagai faktor termasuk psikologis. Jika kepanikan terus meluas, harga akan melampaui US$ 120 per barel. Bahkan ada potensi komoditas ini menyentuh US$ 150 per barel.
Indonesia, tutur Komaidi, sebagai pricetaker tidak memiliki kemampuan mengintervensi harga minyak sehingga berapa pun angka yang terbentuk harus tetap diambil. Menurut dia, dalam hal ini tentu ada risiko fiskal dan moneter terkait harga jual BBM. “Dalam jangka pendek Indonesia relatif tidak memiliki pilihan (penentuan harga jual BBM),” kata Doktor ekonomi lulusan Universitas Trisakti itu.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan sebagai negara net importer Indonesia dinilai sangat dirugikan dengan kenaikkan harga minyak dunia hingga di atas US$ 110 per barel. Kenaikan harga minyak tersebut akan sangat memberatkan beban APBN.
“Beban APBN itu untuk memberikan kompensasi pada saat Pertamina menjual BBM di bawah harga keekonomian. Kalau tidak ada kenaikkan harga BBM di dalam negeri beban APBN semakin berat,” katanya.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman sebelumnya mengatakan Pertamina terus mencermati kenaikan harga minyak mentah dunia dan dampak-dampak strategisnya.
Pertamina berupaya menjaga pasokan BBM dan elpiji nasional, ke seluruh masyarakat Indonesia. [qnt]