WahanaNews.co | Satgas BLBI memanggil obligor atau debitur penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Suyanto Gondokusumo atau Wu Duanxian.
Ia sebelumnya sudah dua kali mangkir dari panggilan Satgas BLBI.
Baca Juga:
Depo Logistik, Bisnis Baru Tommy Soeharto di Karawang
Suyanto Gondokusumo enggan hadir karena tinggal di Singapura.
Dia pun mengirim kuasa hukumnya, Jamaslin James Purba.
Kehadirannya diperlukan untuk dimintai keterangan soal sisa utang yang harus dibayar ke pemerintah.
Baca Juga:
Menko Polhukam Beberkan Nama Obligor yang Lunasi Utang BLBI
Lalu siapa sebenarnya Suyanto Gondokusumo?
Suyanto Gondokusumo adalah pemilik dari Bank Dharmala.
Bank miliknya itu mendapatkan kucuran dana BLBI sebesar Rp 904,4 miliar saat krisis moneter menerjang tahun 1998.
Bank Dharmala masuk ke dalam daftar 50 BBO/BBKU (Bank Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha) yang secara resmi dilikuidasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Bank Dharmala resmi ditutup pada tahun 1999.
Sebagai salah satu pemegang saham, Suyanto Gondokusumo saat itu menjabat sebagai komisaris perusahaan.
Bank ini termasuk dalam Grup Dharmala milik Keluarga Dharmala, yang jadi salah satu keluarga konglomerat di Indonesia.
Beberapa tokoh penting dalam keluarga Gondokusumo adalah Suhargo Gondokusumo, Suyanto Gondokusumo, Hendro Gondokusumo, dan Trijono Gondokusumo.
Hendro Gondokusumo tak lain adalah pendiri perusahaan raksasa properti, Dharmala Intiland (PT Intiland Development Tbk).
Gedung Intiland yang berada di Jalan Sudirman Jakarta, dulunya bernama Wisma Dharmala Sakti.
Dalam pengumuman Satgas BLBI yang dimuat di Harian Kompas, disebutkan Suyanto Gondokusumo memiliki dua alamat, pertama di Jalan Simprug Golf III Kav 71 RT 004/RW 008 Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Kemudian, di Singapura beralamat di 16 Clifton Vale Singapura.
Pengusaha kawakan tersebut memang memutuskan tinggal di Negeri Singa setelah kerusuhan 1998.
Pemilik CFC
Mengendalikan bisnisnya dari Singapura, Suyanto Gondokusumo adalah salah satu pemilik CFC, jaringan restoran cepat saji yang terkenal dengan menu ayam gorengnya.
Gerai CFC di Tanah Air dioperasikan melalui PT Pioneerindo Gourmet International Tbk.
Di pasar modal, perusahaan ini memiliki kode emiten PTSP.
Perusahaan ini sudah berdiri sejak tahun 1983, jauh sebelum ayam goreng krispi populer di Indonesia, bersaing dengan McDonald dan KFC.
CFC sendiri merupakan singkatan dari California Pioneer Chicken, sebuah merek dagang waralaba dari Amerika Serikat.
Selain CFC, perusahaan ini juga merupakan pemilik jaringan restoran Sapo Oriental.
Dikutip dari laman PT Pioneerindo Gourmet International Tbk, Suyanto Gondosukumo menjadi salah satu pemegang saham terbesar, yakni sebesar 10,68 persen.
Pemegang saham terbesar atau pengendali adalah PT Pioneerindo Gourmet International Tbk adalah PT Graga Sentosa Persada.
Pemilik saham dengan porsi terbanyak kedua adalah Standard Chartered Bank Singapore.
Heran Dipanggil Satgas BLBI
Dalam keterangannya, kuasa hukum Suyanto Gondokusumo, Jamaslin James Purba, mengaku heran dengan pemanggilan kliennya tersebut oleh Satgas BLBI.
Ini karena persoalan tersebut terjadi sudah lebih dari 20 tahun lalu.
"Ada panggilan melalui media Kompas. Intinya klien kita, Pak Suyanto, ini dipanggil dalam rangka BLBI. Kita melihat peran beliau seperti apa, sih, di perkara BLBI itu," kata James.
James menuturkan, kedatangannya ke kantor Kemenkeu pun bertujuan untuk mengetahui hitung-hitungan utang yang ditagih oleh Satgas kepada Suyanto.
Dia ingin tahu lebih lanjut dari mana asal-usul hitungan utang bermula mengingat pemegang saham Bank Dharmala bukan hanya Suyanto saja.
Ia juga mengaku tak habis pikir, mengapa hanya kliennya yang masuk dalam daftar panggilan oleh Satgas BLBI.
Padahal, pemilik Bank Dharmala tak hanya Suyanto Gondokusumo.
"Harusnya jangan (ditagih) semuanya ke satu orang, dong. Misalnya dari sekian pemegang saham yang tanda tangan perjanjian penyelesaian pemegang saham itu, si ini berapa. Proporsional sesuai dengan saham masing-masing," beber dia.
Jamaslin James Purba juga mengungkapkan alasan mangkirnya Suyanto Gondokusumo di panggilan sebelumnya.
Hal ini terjadi lantaran surat tidak sampai kepada kliennya yang menetap di Singapura.
"Kita tidak dapat panggilan pertama dan kedua karena mungkin langsung ke alamat beliau, tapi beliau saat ini tidak ada di Indonesia. Beliau kan ada di Singapura," kata James.
James menuturkan, Suyanto memang sudah tinggal di Singapura sesaat sejak kerusuhan tahun 1998.
Pemanggilan Suyanto pun baru diketahui ketika ada pengumuman di Harian Kompas beberapa waktu lalu.
"Ini panggilan sampai setelah melalui surat kabar kita lihat, kemudian kita berkomunikasi, ya tolong dibantu untuk menghadiri undangan sebagai iktikad baik dulu," ucap James.
Hadir via Zoom Meeting
Berdasarkan usulan Satgas melalui Jameslin, Satgas meminta Suyanto menyempatkan diri untuk hadir menemui Satgas tanpa diwakili kuasa hukum.
Kalau tidak memungkinkan hadir secara fisik karena masalah kesehatan, maka pemerintah akan melakukan panggilan video (video conference) melalui platform Zoom dari Singapura.
Untuk memenuhi panggilan ini, Jameslin akan berdiskusi terlebih dahulu dengan Suyanto.
Pihaknya akan bertanya kepada Suyanto mengenai kondisi kesehatannya.
Adapun kata James, pertemuan berikutnya untuk membahas utang Suyanto akan berlangsung sekitar dua minggu dari sekarang.
"Kita masih berdiskusi, berdebat, ini utangnya bagaimana cara menghitungnya, ada apa tidak, udah bayar atau belum. Hadir pasti tidak mungkin, ya, karena kondisi kesehatan. Paling solusinya difasilitasi oleh zoom di KBRI Singapura," pungkas James.
Dia bilang, semua bank yang sudah dibekukan tahun 1998 sudah memiliki metode penyelesaian yang dirancang oleh pemerintah, termasuk dengan bantuan konsultan asing.
Penyelesaian utang sudah tercantum dalam Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) berdasarkan hasil kesepakatan obligor maupun debitor dengan pemerintah.
Harusnya jika ada MSAA, metode penyelesaian utang sudah disepakati.
Untuk itu dia meminta bukti dari nominal utang yang ditagih satgas kepada Suyanto.
"(MSAA) ini penyelesaian dengan aset. Kemudian dalam hal ada kekurangan ada tanggung jawab pemegang saham. Sekarang pertanyaannya Apakah perjanjian itu sudah dieksekusi atau belum? Kalau sudah berapa nilai hasil eksekusinya? Kemudian tagihan yang sekarang ini apakah sudah dikurangkan dengan hasil itu?" tanya dia.
Dasar utang Suyanto berasal dari Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK.
Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tetapi Suyanto diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.
"Dalam hal saudara tidak memenuhi kewajiban penyelesaian hak tagih negara, maka akan dilakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," tulis pengumuman yang ditandangani Ketua Harian Satgas BLBI, Rionald Silaban.
James mempertanyakan alasan pemerintah baru menagih utang kliennya yang disebut mencapai Rp 904,4 miliar.
Padahal, kata dia, penyaluran dana BLBI terjadi pada 1998 silam.
"Kenapa baru 20 tahun kemudian baru ditagih ulang? Kenapa enggak saat itu saja dibereskan. Kalau masih ada kurang, ya ini (tunjukan) kekurangannya. Gitu, lho," ujar James. [dhn]