WahanaNews.co | Pemerintah akan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, dalam mengantisipasi ancaman laju inflasi tinggi yang terjadi saat ini.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, meskipun laju inflasi cenderung meningkat hingga 3.5 persen di bulan April 2022, namun masih terkendali.
Baca Juga:
Investor Siap Masuk, Anindya Bakrie: Target Investasi Rp 1.900 Triliun di Depan Mata
“Untuk Indonesia saat ini inflasi masih relatif rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Angka terakhir kita di 3.5 persen pada April ini. Laju inflasi masih sejalan dengan outlook pemerintah yaitu 3 plus minus 1 persen. Tentu saja ke depan harus kita antisipasi, dampak kenaikan harga-harga komoditas di Indonesia harus dapat dimitigasi,” kata Febrio dalam Taklimat Media di Jakarta, Jumat (13/5/2022).
Menurut Febrio, kebijakan yang akan dilakukan pemerintah untuk menghadapi risiko laju inflasi adalah menjaga mementum pertumbuhan ekonomi domestik dan menjaga daya beli masyarakat.
Dalam hal in, APBN akan dikerahkan sebagai shock absorber atau peredam syok terhadap dampak yang timbul akibat inflasi.
Baca Juga:
WNA China Tersangka Kasus Judi Online Nyamar Jadi Investor di Indonesia
“Ke depan, strategi yang sama akan terus kita pertahankan. Kenaikan harga energi dan pangan di global, kita absorb. Kita gunakan APBN sebagai shock absorber untuk memastikan bahwa dampaknya pada daya beli masyarakat bisa kita kelola dengan baik. Ini memang berat untuk APBN kita, tapi kami pastikan APBN juga tetap sehat,” ujarnya.
Pemerintah juga akan terus memantau harga komoditas yang sering menjadi pemicu inflasi seperti aneka bawang dan cabai, beras, daging ayam dan telur, daging sapi, gula pasir, dan minyak goreng.
Kepala BKF juga mengatakan, program perlindungan sosial, subsidi energi , dan anggaran ketahanan pangan, diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat dari dampak inflasi.
Sementara itu, Ekonom dari Verdhana Sekuritas Heriyanto Irawan mengatakan, dengan perkembangan global seperti sekarang ini, Indonesia tidak kebal terhadap inflasi tinggi.
Sehingga inflasi harus mendapatkan perhatian serius.
“Inflasi di Indonesia sekarang memang masih rendah, tapi ada kemungkinan dapat naik 5 hingga 6 persen. Angka inflasi ini masih lebih rendah dibandingkan inflasi di negara-negara Eropa dan AS. Akan tetapi menurut hemat kami, setelah ada Satgas Covid mungkin perlu ada Satgas Inflasi, karena inflasi ini merupakan tantangan yang sangat berat. Supaya nanti ada koordinasi yang menyeluruh, antisipatif dan proaktif,” papar Heriyanto.
Sejauh ini menurutnya, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5.01 persen di triwulan I-2022, Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang baik.
“Nilai tukar rupiah cukup stabil. Kepercayaan investor juga masih kuat karena kebijakan fiskal dan moneter yang kredibel, serta dukungan reformasi struktural,” pungkasnya. [rin]