WahanaNews.co | Sektor komoditas nikel diprediksi tetap moncer di tengah lesunya ekonomi China. Pemain-pemain besar masih percaya diri melanjutkan investasinya pada bisnis nikel.
Seperti diketahui, saat ini harga komoditas nikel tergiring oleh perlambatan ekonomi China yang tengah dilanda covid. Hal itu karena China merupakan negara konsumen utama komoditas logam industri termasuk nikel.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Analis BRI Danareksa sekuritas Hasan Barakwan dalam riset 14 November 2022 menjelaskan bahwa harapan bagi komoditas nikel adalah ketika China mengendurkan kebijakan nol covid.
Relaksasi covid-19 menjadi penting karena China menyumbang sekitar 50% permintaan dari logam dasar dunia. Langkah itu dinilai bisa menciptakan sentimen positif pada harga komoditas nikel.
"Kondisi keseimbangan pasar nikel saat ini mencerminkan kondisi China yang bergelut dengan kebijakan covid, yang membuat pasar perumahan dan konstruksi domestik di negara tersebut mengalami kontraksi," tulis Hasan dalam risetnya, (14/11).
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Optimisme Hasan tersebut karena menilai pengendalian covid di China sudah membaik. Yang terbaru, China mengurangi waktu karantina untuk pelancong internasional menjadi lima hari dari sebelumnya tujuh hari.
Dengan demikian, momentum pembukaan kembali China nantinya akan berdampak signifikan bagi pasar baja, yang kemudian menjalar untuk nikel juga. Sebab, produksi baja tahan karat masih menyumbangkan 70% dari konsumsi nikel.
Hasan meyakini bahwa harga nikel akan tetap kuat pada kuartal IV-2022. Diperkirakan akan ada pemulihan dalam hal volume penjualan di kuartal empat sebagai hasil normalisasi aktivitas di China.
BRI Danareksa Sekuritas menaikkan perkiraan harga nikel untuk tahun 2022-2023 menjadi US$ 26.00/ton & US$ 21.000/ton. Dari harga sebelumnya senilai US$ 21.000/ton & USD17.000/ton.
Analis Pilarmas Investindo Desy Israhyanti tidak memungkiri bahwa perlambatan ekonomi global yang dipicu sejumlah krisis seperti energi, pangan, memang masih akan menjadi tantangan bagi industri nikel.
Dengan permintaan yang terbatas maka produksi otomatis akan diturunkan. Namun, sentimen positifnya adalah komoditas nikel menjadi arah laju bisnis yang menuju pada hilirisasi di masa depan.
"Pengembangan ekosistem menjadi game changer baik bagi emiten, industri, maupun kontribusinya terhadap ekonomi dan pendapatan negara," imbuh Desy kepada Kontan.co.id, Minggu (27/11).
Desy menambahkan, Pemerintah Indonesia pun masih terus berupaya untuk mengurus kebijakan larangan ekspor mentah bijih nikel. Meskipun sejauh ini belum berhasil memenangkan gugatan dari komisi Uni Eropa, namun Kementerian ESDM berniat untuk pengajuan banding.
Larangan ekspor bijih nikel tersebut pada akhirnya bisa menguntungkan emiten pertambangan nikel di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan supply dan demand, yang dapat menggerakkan harga nikel naik saat pasokan dari Indonesia dibatasi.
Sejauh ini, emiten nikel masih berkomitmen membangun hilirisasi nikel dengan melanjutkan investasinya di Smelter seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Ada pula PT Harum Energy Tbk (HRUM) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang mulai merangsek bisnis nikel.
Analis Samuel Sekuritas Olivia Laura dalam riset 6 Oktober 2022 memaparkan bahwa transformasi Harum Energy ditandai dengan akuisisi perusahaan nikel antara lain Nickel Mines Ltd (NIC) sebanyak 6,7%, PT Position sebanyak 51%, dan Infei Metal Industry (IMI) sebanyak 49,0%.
Selain itu, lewat anak usahanya yakni Harum Nickel Industry (HNI), HRUM juga mengakuisisi 20.0% saham baru yang diterbitkan oleh PT Westrong Metal Industry (WMI) senilai US$ 75,0 juta pada April lalu.
WMI sedang membangun smelter nikel RKEF di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dengan kapasitas produksi tahunan 56kt Nickel Pig Iron (NPI), yang diharapkan beroperasi pada kuartal IV-2023.
Sementara, proyek MDKA yang akan datang adalah proyek tambang tembaga Tujuh Bukit, proyek AIM Wetar, serta tambang emas Pani.
Ekspansi ini nampaknya berkaitan dengan arah ekonomi hijau sehingga membutuhkan nikel sebagai komponen utamanya.
Olivia mengungkapkan bahwa nikel memang memiliki potensi permintaan yang besar. Salah satunya karena kebutuhan untuk pengembangan industri kendaraan listrik termasuk menciptakan baterai Electric Vehicle (EV).
Pada tahun 2030, industri baterai listrik diproyeksikan menyerap 1,1 juta Metrik Ton (MT) nikel, lebih dari lima kali lipat dari angka saat ini yakni 200 ribu MT.
"Kami memperkirakan industri stainless steel akan tetap menjadi pendorong utama permintaan nikel di masa mendatang. Selain stainless steel, industri lain yang dapat meningkatkan permintaan nikel di masa depan adalah industri baterai EV," ujar Olivia dalam riset, (6/10). [rna]