Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit mengatakan, satu-satunya hal yang bisa dilakukan apabila terlanjur membeli properti yang pembangunannya berujung mangkrak ialah dengan menjualnya.
"Kalau kita sudah kadung beli, nggak ada satu cerita lain kecuali jual," ujarnya, saat dihubungi terpisah.
Baca Juga:
Buka Layanan di Meikarta, Imigrasi Bekasi Siap Layani 2000 Pemohon Paspor Kolektif Selama Sepekan
Menurutnya, kondisi ini merupakan salah satu risiko dari membeli hunian yang sama sekali belum dibangun oleh pihak pengembang alias membeli gambar. Ditambah lagi, hukum di Indonesia kurang memberikan perlindungan maksimal pada konsumen sehingga belum bisa diandalkan.
"Karena hukum di Indonesia tidak melindungi kepentingan kamu sebagai pembeli. Jadi ketika membeli properti dengan gambar, ya wallahu a'lam. Artinya kamu harus yakin bener kalau pengembang ini untung. Untung yang dimaksud itu sukses proyeknya," kata Panangian.
"Karena begitu dia rugi, nggak sukses penjualannya. Ya kamu pasti dikorbankan. Itulah resiko sebagai pembeli properti di atas gambar," sambungnya.
Baca Juga:
Hak 131 Konsumen Meikarta yang ke DPR Terpenuhi
Panangian pun menyebut kasus Meikarta sebagai salah satu contoh kasus pengembang yang terjebak fenomena gaya hidup modern yang sempat trend pada 2015 silam hingga membuat pengembang membangun banyak hunian vertikal. Di sisi lain masyarakat Indonesia belum siap sepenuhnya untuk tinggal di apartemen.
"Orang pindah ke pusat kota dan mencoba gaya hidup di apartemen, boomingnya pada 2015. Meikarta juga dibangun 2017. Mereka ini semua terjebak pada fenomena gaya hidup modern, sementara masyarakatnya kelihatannya belum siap," katanya.
Akibatnya, jumlah permintaan pun tidak dapat menutupi jumlah unit yang tersedia sehingga para pengembang kesulitan menuntaskan proyek. Dalam hal ini, menurutnya pengembang belum siap menangani jika permintaan konsumen tidak sebanyak itu sehingga terjadilah oversupply.