WAHANANEWS.CO, Jakarta - Industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) masih menyisakan bekas luka panjang dari pandemi yang hingga kini belum sepenuhnya pulih.
Meski kredit, aset, dan dana pihak ketiga (DPK) tercatat tumbuh, sederet indikator lain menunjukkan pelemahan yang membuat wajah industri ini penuh tantangan.
Baca Juga:
BPR dan BPRS di Kalteng Terus Tunjukkan Tren Positif dengan Pertumbuhan Signifikan
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menegaskan bahwa dampak pandemi masih menghantam segmen utama BPR dan BPRS, yakni nasabah perorangan dan pelaku UMKM di daerah.
"Kinerja industri BPR/S masih dipengaruhi oleh scarring effect dari pandemi yang berdampak pada nasabah perorangan atau UMKM di daerah yang merupakan target BPR/S," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Jumat (19/9/2025).
OJK pun merespons dengan menerbitkan aturan baru, termasuk POJK No. 9 Tahun 2024 tentang Tata Kelola bagi BPR dan BPRS, disusul SEOJK No.12/SEOJK.03/2024.
Baca Juga:
Antisipasi Lonjakan Penutupan Bank, OJK Gaspol Transformasi BPR-BPRS
Aturan tambahan berupa SEOJK No.8/SEOJK.03/2025 mengenai fungsi kepatuhan, SEOJK No.9/SEOJK.03/2025 tentang audit intern, serta SEOJK No.21/SEOJK.03/2024 terkait Standar Akuntansi Keuangan Entitas Privat (SAK EP) juga diberlakukan.
Menurut Dian, penguatan regulasi ini diperkuat dengan kewajiban pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) agar BPR lebih berhati-hati menghadapi potensi kerugian dari kredit bermasalah.
"Ini untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin terjadi akibat penurunan nilai aset keuangan, terutama kredit, yang dibentuk oleh bank sebagai bentuk kehati-hatian," jelasnya.