WahanaNews.co | Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta mengawasi secara ketat, khususnya bank BUMN, terkait penyaluran kredit puluhan triliun kepada perusahaan pertambangan batubara yang ditengarai tidak didukung agunan memadai.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati mengatakan bank sebagai pemberi pinjaman tetap harus mengukur kelayakan kredit calon debitur dengan prinsip 6C. Yakni, Character, Capacity/Cashflow, Capital, Conditions, Collateral dan Constraint.
Baca Juga:
Ratu Batu Bara Tan Paulin Diperiksa KPK di Kasus Rita Widyasari
"Bila kabar penyaluran kredit hingga Rp 89 triliun benar tanpa agunan memadai, hal tersebut bertentangan dengan harus adanya prinsip collateral (agunan),” kata Anis.
Agunan tersebut sangat penting sebagai second way-out jika debitur melakukan wanprestasi. Selain itu, secara psikologis menjadi pengikat keseriusan debitur menjalankan usaha dan membayar kewajiban kreditnya.
Masalah ini menjadi perhatian masyarakat mengingat pengalaman bahwa mega kredit sering berpotensi korupsi akibat Kerjasama antara pihak internal perbankan dengan pengusaha.
Baca Juga:
KPK Ungkap Eks Bupati Kukar Dapat US$5 per Matrik Ton dari Perusahaan Batu Bara
Dikabarkan sebelumnya, sebuah studi dari Urgewald dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), mencatat masih banyak perbankan yang memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. Padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 terkait penerapan pembiayaan berkelanjutan oleh perbankan.
Informasi tersebut dibenarkan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif.
Dia menyebut bank di RI ramai-ramai memberikan pendanaan untuk industri batu bara, bahkan jumlahnya mencapai Rp 89 triliun. Pengucuran dana untuk pembiayaan perusahaan tambang batu bara banyak terjadi di Sumatera Selatan hingga Kalimantan.
Sesuai ketentuan, perbankan juga harus mendapatkan jaminan atau agunan dari perusahaan pertambangan yang berniat meminjam dana.
Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka penegak hukum seperti KPK maupun Kejaksaan harus turun tangan.
UU Perbankan mengatur prudencial banking dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, di mana ancaman pidananya minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun (penjara) dan denda maksimum Rp 100 miliar," ujar Eva.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sebenarnya telah memberikan 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan yang menjadi acuan LJK (Lembaga Jasa Keuangan) untuk melakukan pembiayaan.
"Namun memang belum ada sanksi ataupun insentif yang diberikan kepada LJK. Perlu adanya pengawasan serta review (sanksi dan insentif) jika ingin pembiayaan berkelanjutan dapat benar-benar berjalan," kata pengamat perbankan Deni Daruri, seperti dikutip media.
Pegiat anti korupsi Sumsel yang juga Koordinator K MAKI Bony Balitong mengatakan ia menerima info dari kalangan pengusaha mengenai jumlah tunggakan sebuah perusahaan tambang di bank pemerintah mencapai Rp 17 triliun.
“Patut dipertanyakan fungsi pengawasan OJK terkait mega kredit ini yang berpotensi menciptakan kekacauan perbankan nasional”, jelas Bony Balitong.
Disamping masalah kredit pembiayaan eksploitasi batubara yang berpotensi kridit macet, kisruh batubara Sumsel juga terkait adanya dugaan perampasan lahan tambang rakyat oleh pengusaha tambang bekerjasama dengan oknum aparat.
MAKI menyoroti masalah ini karena diduga adanya lahan HGU milik BUMN yang di ambil alih oleh pengusaha tambang swasta nasional.
“Kerusakan lingkungan maha dasyat sudah didepan mata dan tinggal menunggu waktu saja sementara tidak di ketahui kemana dana Reklamasi dan pasca tambang kewajiban pengusaha di simpan”, jelas Bony Balitong. [qnt]