WahanaNews.co | Pemerintah sejak Kamis (28/4) melarang ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng.
Kebijakan itu ditempuh Presiden Jokowi dalam rangka menurunkan harga minyak goreng di pasar dalam negeri dan meningkatkan pasokannya.
Walau kebijakan punya berbagai 'efek samping', seperti mengurangi penerimaan pajak ekspor, namun Jokowi menekankan kebijakan dibuat untuk kepentingan dalam negeri.
Baca Juga:
Diperiksa Kejagung soal Ekspor CPO, Airlangga Dicecar 46 Pertanyaan
Jokowi mengaku miris, sebab RI sebagai produsen CPO nomor wahid dunia, namun rakyatnya kesusahan minyak goreng, dari pasokan hingga harga.
"Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, ironis kita malah mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng," ujarnya dalam pernyataannya video, Rabu (27/4).
Kebijakan tersebut tak hanya mendapat perhatian masyarakat RI, tapi juga dunia internasional. Maklum, berbagai negara bergantung pada pasokan minyak goreng Indonesia. Salah satunya, India.
Baca Juga:
Saat Menjadi Saksi, Pejabat Bea Cukai Ini Beberkan Soal Realisasi Kuota Ekspor CPO Migor
Importir India pun protes karena pasokan minyak yang ditujukan ke negaranya menjadi terhambat akibat larangan tersebut.
Padahal, empat importir India mengatakan 290 ribu ton minyak nabati sedang ditujukan ke India. Larangan Jokowi berpotensi membuat India kekurangan minyak nabati.
"Kapal kami yang berbobot 16 ribu ton tertahan di Pelabuhan Kumai (Kalteng) di Indonesia," ungkap Direktur Pelaksana Gemini Edibles & Fats India Pvt Ltd Pradeep Chowdhry yang mengaku membeli 30 ribu ton minyak sawit RI setiap bulannya, dikutip dari Reuters.
Selain India, beberapa negara lain juga berpotensi mengalami disrupsi pasokan. Lantas, seberapa besar dampaknya?
Mengutip rilis ASEAN Briefing, disebutkan India, China, Pakistan, dan Spanyol yang merupakan pasar utama CPO RI lah akan paling terdampak.
Sekitar setengah dari konsumsi minyak sawit mentah India berasal dari Indonesia, sebesar 8 juta ton per tahun. Dengan larangan tersebut, minyak nabati, yang sudah berada pada titik tertinggi sepanjang masa, diperkirakan akan meningkat lebih jauh.
Merek global juga diperkirakan terkena dampak larangan tersebut. Pada 2020, Nestle membeli sekitar 450 ribu ton minyak sawit dan minyak inti sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Sedangkan, P&G menggunakan sekitar 650 ribu ton minyak sawit selama tahun fiskal 2020-2021 untuk beragam produk kategori kecantikan dan rumah. Sekitar 70 persen minyak sawitnya bersumber dari Indonesia dan Malaysia.
Merek global lain yang sangat bergantung pada minyak sawit termasuk L'Oréal, Ferrero, Danone, dan Unilever. Jika larangan berlangsung alot, bisa jadi biaya produksi mereka naik harga.
Di sisi lain, perang Rusia dan Ukraina ikut mengganggu pasokan minyak nabati dunia, sehingga sumber yang ada kian terbatas.
Keadaan ini membuat Malaysia lah yang paling diuntungkan sebagai pemain utama selain Indonesia. Mengutip data dari Malaysian Palm Oil Board, harga ekspor minyak sawit melonjak 48,3 persen pada Maret jika dibandingkan Februari lalu.
"Namun, negara tersebut tampaknya tidak akan mampu mengatasi kejutan pasokan karena mengalami kekurangan tenaga kerja," katanya.
ASEAN Briefing menyebut pertumbuhan produksi Malaysia merosot ke level terendah 5 tahun tahun terakhir karena perusahaan minyak sawit kesulitan untuk menemukan pekerja asing, pekerjaan yang ogah dilakukan oleh rakyat Malaysia sendiri. Sekitar 80 persen pekerja perkebunan di Malaysia adalah orang asing dan mayoritas berasal dari Indonesia.
Lonjakan harga dadakan diproyeksikan masih akan menghantui industri minyak sawit Indonesia, kecuali jika reformasi nyata dilakukan pemerintah.
"Masalah utamanya ialah hampir setengah dari pasar domestik minyak goreng dikendalikan oleh empat konglomerat, yang juga memiliki bisnis di seluruh rantai pasokan dari kilang minyak goreng hingga pabrik pengolahan," terang dia.
Dengan besarnya pengaruh segelintir pemain, maka mereka bisa mendikte harga pasar. Dalam rilis tersebut, ASEAN Briefing menilai peternakan, petani kecil, dan koperasi perlu diintegrasikan dengan lebih baik ke dalam industri melalui pengembangan kilang yang lebih kecil dan skala besar khususnya di luar Jawa.
"Hal ini dapat memastikan petani kecil memiliki suara yang sama dalam menentukan harga dan tidak didominasi oleh perusahaan besar," tandasnya. [rsy]