WahanaNews.co | Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Angrijono menegaskan bahwa Kemendag senantiasa berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) agar konsumen dapat terlindungi dari obat dan produk farmasi lainnya yang tidak sesuai ketentuan.
“Untuk mencegah semakin banyaknya kasus gagal ginjal akut yang tengah terjadi saat ini, Kemendag berkomitmen terus mendorong upaya perlindungan konsumen atas produk obat dan farmasi yang tidak sesuai ketentuan. Hingga saat ini Kementerian Perdagangan terus melakukan pengawasan di lapangan,” tegas Veri.
Baca Juga:
Wamendag Roro Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terus Menguat
Kementerian Perdagangan telah menggelar rapat koordinasi dengan para para pemangku kepentingan di bidang farmasi seperti produsen obat, asosiasi perusahaan farmasi dan apotek, distibutor dibidang obat-obatan serta asosiasi penjualan online (idEA) yang berlangsung pada Senin, (31/10) di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta. Rapat koordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait juga digelar untuk menyamakan persepsi dalam rangka perlindungan konsumen.
“Pada rapat koordinasi dengan pelaku usaha dan idEA, Kementerian Perdagangan telah meminta IdEA untuk menurunkan konten terhadap 81 tautan pada lokapasar dan perdagangan elektronik yang memperdagangkan obat sirup yang dilarang dan serta produk dry shampoo yang tidak memiliki izin edar. Produk dry shampoo di Amerika Serikat kini juga tengah diberitakan mengandung senyawa Benzena dan berpotensi menyebabkan kanker,” kata Veri.
Dalam rapat koordinasi tersebut, Kementerian Perdagangan juga meminta para pelaku usaha baik produsen maupun asosiasi perusahaan farmasi untuk mengikuti ketentuan dari pemerintah terkait produksi dan penjualan obat sesuai standar yang telah ditetapkan.
Baca Juga:
Peringati Hari KORPRI, Wamendag Roro Tinjau Penyelenggaraan Donor Darah di Direktorat Metrologi
“Demikian halnya dengan asosiasi penjualan secara daring (online) agar ikut berperan aktif dalam mengawasi dan melakukan tindakan penurunan konten penjualan obat yang dinyatakan dilarang oleh pemerintah,” ujarnya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat (3) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak Rp2 miliar.