Pencetusnya, selain kenaikan harga energi juga terjadi peralihan penggunaan LPG 12 kg ke 3 Kg, seiring kenaikan harga elpiji non subsidi.
Sebagai gambaran harga jual eceran LPG 3 kg bersubsidi sebesar Rp 4.250, sementara harga keenomian sudah mencapai Rp 19.609.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Celakanya, sumber elpiji 80% masih berasal dari impor yang juga terkena kenaikan dollar AS, selain harga gas alam yang tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) RI menunjukkan, impor LPG selama Januari-Maret 2022 mencapai US$ 1,30 miliar atau sekitar Rp 18,6 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.300 per US$, melonjak 53% dibandingkan nilai impor pada Januari-Maret 2021 yang tercatat sebesar US$ 852,9 juta.
Apalagi, saat ini, PLN mengalami kelebihan suplai listrik yang cukup besar. Darmawan menjelaskan, di Jawa dalam satu tahun ke depan akan ada pasokan 6.800 Mega Watt (MW). Sementara penambahan permintaan hanya 800 MW.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Adapun di Sumatera, selama 3 tahun sampai 2025, penambahan permintaan listrik 1,5 GW. Sedangkan penambahan kapasitas 5 GW. "Di Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan juga mengalami itu," ujar Darmawan.
Adapun total listrik Indonesia saat ini mengalami kelebihan pasokan listrik. Tahun ini, ada sekitar tambahan sebesar 6,7 gigawatt (GW). "Ini energi berlebih dari sumber listrik batu bara, gas, termasuk EBT (energi baru terbarukan) yang diproduksi secara domestik,” ujarnya. [qnt]