WahanaNews.co | Kebutuhan mendesak masyarakat di tengah pandemi Covid-19 bikin industri P2P lending atau fintech lending berkembang dengan signifikan, lantaran dianggap mampu menjawab kebutuhan finansial masyarakat di Indonesia.
Sayangnya, hal ini juga dimanfaatkan aplikasi pinjol ilegal untuk menjerat lebih banyak korban. Masyarakat perlu lebih waspada dan membekali diri dengan literasi keuangan yang baik agar dapat merasakan manfaat pinjaman.
Baca Juga:
Serah Terima Unit Terlambat, LAK DKI Jakarta Fasilitasi Pengaduan Konsumen Green Cleosa
Hingga 19 Oktober 2021, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas (Kabag Penum Divhumas) Mabes Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan telah merilis lebih dari 380 kasus pinjaman online (pinjol) ilegal di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini disampaikan Pol Ahmad Ramadhan dalam Sapa Indonesia Malam KompasTV.
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah kasus korban di lapangan lebih banyak dari kasus yang dilaporkan. Pasalnya dalam kasus pinjol ilegal, korban sering kali enggan melapor karena berbagai kemungkinan.
“Korbannya bisa ribuan, karena ada korban yang tidak melapor karena mungkin malu, atau mungkin pinjamannya juga kecil tapi membuat dia jera,” kata Ramadhan, (19/10/2021).
Baca Juga:
YLPK Sulsel Minta Perlindungan Data Terhadap Konsumen Lebih Diperhatikan
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sebenarnya telah memblokir aplikasi pinjol ilegal yang tersebar di website, Google Play Store, media sosial, hingga file sharing. Ada 1.856 akun pinjol yang ditutup Kominfo selama tahun 2021.
Kendati demikian, aplikasi pinjol ilegal terus menggurita dan mencekik banyak korban yang membutuhkan dana darurat. Bukannya mendapat solusi keuangan, korban justru dicengkram dengan bunga yang tak masuk akal dan pesan bernada ancaman.
Seperti korban pinjol ilegal berinisial TM yang mengaku mengalami tekanan dan ancaman dari salah satu aplikasi pinjol ilegal. Dalam laporannya, korban mengatakan bahwa desk collector pinjol ilegal telah meneror keluarga korban setiap hari, bahkan menyasar rekan kerja yang tersimpan dalam buku telepon.
Meski pemerintah telah berupaya menekan pinjol ilegal, aplikasi ini terus tumbuh karena adanya kebutuhan finansial dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan literasi finansial dari masyarakat sendiri untuk memahami seperti apa fintech lending atau peer-to-peer lending yang diberikan ‘lampu hijau’ dari Otoritas Jasa keuangan (OJK).
Beda Pinjol Ilegal dan Fintech Lending
Fintech lending adalah platform pendanaan legal yang mempertemukan pemilik dana (lender) dengan peminjam dana (borrower) secara online. Dari sisi peminjam, aplikasi ini sering disebut pinjaman online (pinjol).
Namun, jangan sampai salah membedakan fintech lending dengan aplikasi pinjol ilegal yang marak menjerat masyarakat. Ada sejumlah perbedaan mencolok antara pinjol ilegal dan fintech lending yang harus dipahami sebelum melakukan pinjaman.
Pinjol ilegal tidak terdaftar, tidak memiliki izin penyelenggara dari OJK, dan tidak memiliki kelengkapan legalitas yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah dan domisili kantor yang jelas untuk menghindari penangkapan.
Sementara, fintech lending memiliki legalitas dan domisili kantor perusahaan serta diawasi OJK dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari sisi permodalan, sumber dana pinjol ilegal bisa berasal dari satu sumber dana [Ak1] . Berbeda dengan fintech lending yang sumber dananya berasal dari lebih dari satu sumber dana yang dapat berupa perusahaan atau perorangan [Ak2] yang memiliki dana lebih (lender) untuk dikembangkan kembali dengan menginvestasikan dana tersebut kepada peminjam (borrower).
Pinjol ilegal biasanya memberikan tawaran pinjaman secara informal melalui SMS dan media sosial dengan keterangan yang tidak jelas dan ambigu disertai dengan tautan. Biasanya untuk menjerat korban, tawaran pinjol ilegal langsung menuliskan angka besar yang bisa didapatkan peminjam secara instan dan menyembunyikan denda pinjaman yang tak terhingga.
Perbedaan ini sangat mencolok jika dibandingkan dengan fintech lending legal yang melakukan seleksi profil peminjam dengan berhati-hati dan memberikan detail informasi pinjaman secara transparan.
Uang dari pinjol ilegal sering dijuluki ‘easy money’ karena proses pencairannya terlalu mudah dan terkesan sembarangan. Namun dengan proses yang tanpa seleksi ini, para peminjam dijerat dalam jebakan utang yang tak masuk akal.
Sementara itu, fintech lending legal memiliki syarat-syarat dalam mengajukan pinjaman. Salah satu fintech lending yang terdaftar, berizin dan diakui oleh OJK, Adakami, memiliki syarat pengajuan pinjaman di antaranya berkewarganegaraan Indonesia, berusia 21-50 tahun, memiliki penghasilan tetap, memiliki e-KTP, memiliki buku tabungan atas nama pribadi, dan ponsel Android yang digunakan untuk mengunduh aplikasi.
Proses review aplikasi juga menggunakan non traditional credit scoring. Hal ini memungkinkan sistem untuk melihat track record peminjam di aplikasi lain melalui teknologi terkini.
Fintech lending dilarang melakukan penekanan yang berlebihan dan mengancam korban serta menyebarkan identitas pribadi korban baik melalui SMS, WA, telpon, dan lainnya. Sebaliknya, aplikasi fintech lending menyediakan kontak layanan pelanggan yang siap memberikan informasi lebih lanjut dan layanan pengaduan konsumen.
Hal ini dikarenakan fintech lending legal telah mengantongi sertifikasi ISO 27001:2013 terkait standar penerapan sistem manajemen keamanan informasi sebagai komitmen untuk menjaga data pribadi peminjam.
Informasi mengenai komitmen fintech lending dapat dilihat melalui laman masing-masing perusahaan. Contoh komitmen menjaga kerahasiaan data peminjam pada aplikasi Adakami dapat dilihat di sini.
Peminjam tidak perlu khawatir data pribadi akan dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung
Paling penting, pastikan legalitas aplikasi fintech lending di laman resmi OJK www.ojk.go.id, atau dengan menghubungi Kontak OJK 157 @kontak157, melalui telepon 157, WA 081 157 157 157, atau email [email protected]. [qnt]