WAHANANEWS.CO, Jakarta - Saham Nvidia mengalami kejatuhan signifikan setelah chatbot kecerdasan buatan (AI) asal China, DeepSeek, semakin populer. Raksasa chip asal Amerika itu kehilangan nilai pasar hampir US$ 600 miliar atau sekitar Rp 9.731,7 triliun pada perdagangan Senin (27/1/2025).
Menurut laporan Bloomberg, penurunan ini berdampak langsung pada kekayaan pendiri Nvidia, Jensen Huang, yang menyusut US$ 20,1 miliar atau sekitar 20% dari total kekayaannya.
Baca Juga:
Perayaan Imlek, Ini Barang Wajib yang Dipercaya Membawa Rezeki
Fenomena ini terjadi di tengah aksi jual besar-besaran di sektor teknologi, dipicu oleh meningkatnya perhatian investor terhadap DeepSeek, yang mengguncang pasar saham global.
Tak hanya Nvidia, sejumlah miliarder teknologi lainnya juga mengalami kerugian besar. Pendiri Oracle Corp., Larry Ellison, kehilangan US$ 22,6 miliar atau 12% dari total asetnya.
Michael Dell mengalami penyusutan kekayaan US$ 13 miliar, sementara Changpeng Zhao dari Binance kehilangan US$ 12,1 miliar.
Baca Juga:
Ogah Digusur, Rumah Kakek Ini Kini Berdiri Sendiri di Tengah Jalan Tol
DeepSeek, chatbot AI yang dikembangkan di China, menjadi aplikasi gratis yang paling banyak diunduh di Amerika Serikat hanya dalam waktu seminggu sejak peluncurannya.
Dengan biaya pengembangan yang jauh lebih rendah dibandingkan pesaingnya, teknologi ini mulai menggeser dominasi raksasa AI asal AS.
Akibat dampak yang ditimbulkan DeepSeek, saham berbagai perusahaan teknologi lainnya juga mengalami penurunan drastis.
Microsoft dan Google turut terkena imbas, dengan harga saham masing-masing merosot 2,14% dan lebih dari 4%. Saham Broadcom bahkan turun 17,4%, sedangkan produsen chip asal Belanda, ASML, mengalami penurunan lebih dari 7%.
Sementara itu, di tengah persaingan ketat AI global, pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan investasi besar-besaran dalam infrastruktur AI.
Presiden Donald Trump menyebutkan bahwa proyek senilai US$ 500 miliar ini merupakan yang terbesar dalam sejarah teknologi AS, bertujuan untuk mempertahankan supremasi AI di Negeri Paman Sam.
DeepSeek, yang didukung oleh model DeepSeek-V3, dikembangkan dengan biaya hanya US$ 6 juta atau sekitar Rp 97 miliar, jauh lebih murah dibandingkan dengan model AI canggih lainnya.
Namun, klaim ini masih menuai perdebatan di kalangan komunitas AI, mengingat DeepSeek menggunakan banyak komponen open-source.
Popularitas DeepSeek melonjak di saat AS memperketat pembatasan ekspor chip canggih ke China.
Namun, pengembang AI di China menemukan cara untuk mengembangkan model yang lebih efisien dengan konsumsi daya komputasi lebih rendah, yang sekaligus menekan biaya produksi.
Setelah peluncuran DeepSeek-R1 awal bulan ini, model tersebut diklaim mampu menyamai salah satu versi terbaru OpenAI dalam berbagai tugas seperti matematika, pemrograman, dan penalaran bahasa.
Lonjakan popularitas ini memicu kekhawatiran di pasar global, dengan investor yang semakin waspada terhadap perubahan lanskap industri AI di masa depan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]