WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kepergian Paus Fransiskus mengguncang dunia, meninggalkan duka mendalam di tengah Paskah yang seharusnya penuh sukacita.
Sosok yang dikenal karena kerendahan hati dan dedikasinya terhadap kaum miskin itu wafat di usia 88 tahun, hanya sehari setelah tampil di hadapan umat di Lapangan Santo Petrus, Vatikan.
Baca Juga:
Messi Kenang Paus Fransiskus: Sosok Dekat dan Cinta Sepak Bola
Kabar duka tersebut diumumkan secara resmi oleh pihak Vatikan pada Senin (21/4/2025).
Meski sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan dari pneumonia berat beberapa waktu lalu, kematian Paus Fransiskus tetap mengejutkan banyak pihak.
Selama hidupnya, ia menjalani perjalanan panjang dengan berbagai tantangan kesehatan, bahkan sejak usia muda.
Baca Juga:
Paus Fransiskus Tutup Usia, Gereja Katedral Jakarta Siapkan Misa Khusus
Riwayat Kesehatan Paus Fransiskus Sebelum Meninggal
Riwayat kesehatan Paus Fransiskus dimulai pada tahun 1957 ketika ia masih berusia awal 20-an. Saat itu, ia menjalani operasi pengangkatan sebagian paru-parunya akibat infeksi pernapasan parah yang dialaminya di Argentina.
Sejak operasi itu, ia menjadi lebih rentan terhadap gangguan pernapasan.
Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada Juli 2021, Paus Fransiskus kembali menjalani prosedur medis besar untuk mengatasi divertikulitis -- penyakit yang menyebabkan penyempitan pada usus besar.
Dalam operasi tersebut, dokter mengangkat sekitar 33 cm usus besarnya.
Perjuangan melawan masalah kesehatan berlanjut di Januari 2023, ketika Paus dirawat di rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan akut yang membuatnya kesulitan bernapas.
Kondisinya sempat membaik, tetapi pada awal tahun 2025, kesehatannya kembali memburuk.
Pada Februari 2025, ia dilarikan ke rumah sakit karena pneumonia ganda yang disebabkan oleh infeksi polimikroba. Penyakit ini dipicu oleh kombinasi patogen seperti bakteri, virus, jamur, bahkan parasit.
Dalam sebuah pernyataan yang menyentuh hati, Paus Fransiskus sempat mengungkapkan bahwa ia merasa mungkin inilah akhir dari perjalanan hidupnya.
Tetap Bertugas hingga Akhir Hayat
Meski didera berbagai penyakit serius, Paus Fransiskus tetap menjalankan tugas kepausan hingga akhir hayatnya. Ia terpilih sebagai pemimpin Gereja Katolik pada tahun 2013, menggantikan Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri.
Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang progresif, penuh empati, dan sangat peduli terhadap keadilan sosial.
Ia aktif memperjuangkan reformasi dalam tubuh Gereja, memperjuangkan perdamaian dunia, serta menjembatani perbedaan di tengah umat Katolik global.
Paus asal Argentina ini juga dikenal karena kepeduliannya terhadap isu lingkungan dan keberpihakan terhadap kelompok yang termarjinalkan.
Pemakaman Paus Fransiskus
Untuk penghormatan terakhir, Paus Fransiskus telah meninggalkan sejumlah permintaan khusus yang menunjukkan kesederhanaannya.
Menurut Uskup Agung Diego Ravelli, Pemandu Upacara Apostolik, almarhum Paus menginginkan agar pemakamannya berlangsung secara sederhana dan lebih menekankan pada iman akan kebangkitan Kristus.
Upacara pemakaman akan dilangsungkan pada Kamis, 24 April 2025, di Basilika Santo Petrus, Vatikan, dan dipimpin oleh Kardinal Giovanni Battista Re, Dekan Kolese Kardinal.
Misa Requiem ini akan dihadiri oleh para pemimpin agama dan kepala negara dari berbagai belahan dunia.
Sebelum prosesi pemakaman, jenazah Paus akan disemayamkan terlebih dahulu di Basilika Santo Petrus untuk memberikan kesempatan kepada umat Katolik dan masyarakat umum memberikan penghormatan terakhir.
Masa berkabung selama sembilan hari pun akan menyusul setelah pemakaman.
Mengutip laporan dari Reuters, Paus Fransiskus pernah berwasiat agar tidak dimakamkan di ruang bawah tanah Basilika Santo Petrus sebagaimana tradisi para pendahulunya.
Sebagai gantinya, ia memilih Basilika Santa Maria Maggiore di Roma sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, serta menghendaki peti mati yang terbuat dari kayu biasa, sebagai simbol kerendahan hatinya.
Warisan yang Tak Terlupakan
Kepergian Paus Fransiskus memang menyisakan duka mendalam, namun warisan iman, kasih, dan semangat reformasinya akan tetap hidup dalam hati jutaan umat Katolik dan pencinta perdamaian di seluruh dunia.
Sosoknya akan dikenang bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai simbol harapan dan kemanusiaan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]