WAHANANEWS.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) telah menandatangani kesepakatan untuk membeli 50 unit pesawat Boeing dari Amerika Serikat. Transaksi ini berlangsung setelah Presiden Donald Trump memangkas tarif impor barang dari Indonesia, dari semula 32 persen menjadi 19 persen.
Beberapa di antaranya adalah pesawat berbadan lebar seperti Boeing 777.
Baca Juga:
Sambut HUT ke-76, Garuda Indonesia Tebar Diskon Penerbangan ke Berbagai Tujuan Wisata
Namun, langkah strategis tersebut dipandang tidak tepat oleh pengamat kebijakan pariwisata, Profesor Azril Azahari.
Menurutnya, keputusan itu tidak realistis jika dilihat dari dua aspek utama: kesiapan infrastruktur bandara dan kebutuhan pariwisata nasional saat ini.
"Tempo hari bandara kita ada 34 yang berstatus internasional, kemudian di-reduce menjadi 17 dan kini ditambah lagi menjadi 20 bandara. Kalau dari pengamatan saya, baru 9 yang siap untuk dapat menerima Boeing 777 yang berbadan besar," ujar Azril kepada detikTravel pada Sabtu (19/7/2025).
Baca Juga:
Resmi Buka Kantor Baru di Batam Center, Garuda Indonesia Ingin Tingkatkan Aksesibilitas Layanan
Dari sisi fasilitas, ia pun menilai Boeing 777 lebih cocok digunakan untuk mengangkut jamaah haji yang hanya terjadi setahun sekali.
"Haji itu hanya setahun sekali," tegasnya.
Lebih lanjut, Azril menyoroti bahwa tren pariwisata global saat ini mengarah pada quality tourism, bukan lagi mass tourism.
Artinya, yang dibutuhkan adalah frekuensi penerbangan yang tinggi dengan harga terjangkau, bukan armada besar berkapasitas jumbo.
"Yang dibutuhkan itu penerbangan murah dan frekuensi yang banyak," jelasnya.
Faktor lain yang menjadi sorotan adalah harga avtur (aviation turbine fuel) di Indonesia yang dinilai masih lebih mahal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura. Hal ini memengaruhi harga tiket yang pada akhirnya turut menentukan minat kunjungan wisatawan asing.
"Saya pernah tanya langsung kepada maskapai-maskapai internasional, mengapa mereka enggak buka penerbangan ke Indonesia tapi malah ke Singapura, jawabannya karena avtur kita lebih mahal," ungkapnya.
Azril juga menyinggung belum siapnya Indonesia dalam mengadopsi avtur ramah lingkungan atau Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang sudah mulai diberlakukan oleh International Air Transport Association (IATA).
Sementara Singapura telah melangkah lebih dulu, Indonesia masih tertinggal pada tahap penelitian bioavtur, padahal bahan bakunya seperti inti sawit sangat melimpah di dalam negeri.
"Nggak realistis kalau untuk pariwisata. Belum sustainable avtur, apalagi Garuda merugi," ujar Azril.
IATA sendiri menargetkan penggunaan SAF 100 persen pada seluruh maskapai dunia mulai 2050. Jika Indonesia tidak segera berbenah, izin rute penerbangan bisa terancam dicabut karena tidak memenuhi standar keberlanjutan internasional.
"Yang memberi izin rute pesawat itu IATA, jadi kita harus mengikuti aturannya. Kalau tidak segera beralih ke SAF, maka izin rute tidak diberikan oleh IATA," tegas Azril.
Ia menambahkan, pariwisata tidak hanya soal destinasi, tetapi juga kemampuan menggelar event internasional. Salah satu contohnya adalah pacu jalur di Kuansing, Riau, yang sempat viral dan mendatangkan wisatawan asing.
Sayangnya, Azril menilai Indonesia masih sangat lemah dalam hal penyelenggaraan event berskala global.
"Kita lemah dalam event internasional, sangat lemah," ujarnya.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan pembelian 50 unit Boeing merupakan bagian dari upaya memperkuat posisi Garuda Indonesia sebagai maskapai kebanggaan nasional.
Ia menilai Garuda perlu disuntik armada baru untuk kembali bangkit.
"Memang kita kan perlu membesarkan Garuda. Garuda adalah kebesaran kita. Garuda adalah flag carrier national. Garuda lahir di dalam perang kemerdekaan kita. Jadi Garuda harus jadi lambang Indonesia. Saya bertekad membesarkan Garuda, untuk itu kita butuh pesawat baru," kata Prabowo.
Diketahui, pembelian pesawat Boeing ini juga merupakan bagian dari perjanjian resiprokal dengan Amerika Serikat untuk menekan surplus neraca perdagangan.
Sebagai imbal balik atas penurunan tarif impor barang Indonesia ke AS, pemerintah menyepakati pembelian produk unggulan AS, termasuk pesawat terbang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]