"Persyaratannya penuhi empat pilar tadi, air bisa dikelola dengan baik ada varietas yang cocok, ada petaninya dan produksinya juga bisa lebih dari 4 ton per hektar udah konsentrasi aja ke situ. Nanti itu jadi titik-titik pengembangan yang perlahan-lahan bisa mempengaruhi wilayah-wilayah sekitarnya," jelasnya.
Adapun jumlah petani yang ada saat ini juga menjadi tantangan ke depannya. Maka untuk menggerakkan para petani dalam memaksimalkan lahan pertanian secara luas dalam hal in food estate, maka pemerintah perlu meningkatkan luasan penguasaan lahan bagi petani.
Baca Juga:
TMMD di Kukar Tingkatkan Produksi Padi Sawah 196,9 Hektare di Kerta Buana
"Misalnya satu rumah tangga petani diberi lahan 10 hektare. Sebagian bisa untuk sawit sebagian untuk lahan tanaman pangan. Karena sawit ini biaya perawatan tidak seintensif pangan. Atau bisa di mixed misal jeruk nanas jadi bukan hanya misal padi saja," ungkapnya.
Dwi menilai program food estate pemerintah saat ini masih termasuk gagal atau mengulang kegagalan yang sama di 25 tahun terakhir dalam kaitannya food estate.
"Kalau saya tegas jawab food estate itu mengulang kegagalan yang sama di 25 tahun terakhir. FE Kalteng di lokasi Kementan bukan proyek FE lama itu lokasi transmigrasi jadi sudah stabil kondisi sosial ekonomi dan lahan stabil. Sehingga sudah berhasil sudah lama, sekarang itu intensifikasi di situ. Tapi FE di blok A2, A5 yang eks lahan gambut itu gagal, kami tahu karena kami ini pelaku. Itu produksi dibawah 1 ton sehektar rata-rata," ungkapnya.
Baca Juga:
Rencana Cetak Sawah 500 Ribu Ha, Mentan Amran Tinjau Lokasi Eks PLG di Kalteng
Senada dengan Dwi, Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan Posman Sibuea mengatakan secara umun food estate belum bisa dikatakan berhasil.
"Semuanya belum menggembirakan hasilnya. Padahal tujuannya sangat baik untuk memperkuat kedaulatan pangan," jelasnya.
Maka ke depan Posman menyarankan agar pemerintah harus lebih memperbanyak pelibatan para petani lokal dalam meningkatkan produktivitas dari food estate.