WahanaNews.co | Fakta bahwa masih sangat banyak pekerja di Indonesia dibayar di bawah standar merupakan persoalan yang tak kunjung usai.
Menurut Data Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja masih digaji di bawah upah minimum. Hampir setengah dari total pekerja di Indonesia dibayar di bawah standar.
Baca Juga:
Pesangon 233 Buruh Pabrik Sepatu Bata, Kemenaker Sebut Dibayar Senin Pekan Depan
Ditambah lagi, pengawasan yang lemah dan penegakan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar tidak berjalan. Sehingga, hal ini menjadi sumber berbagai konflik ketenagakerjaan.
Dalam empat tahun terakhir saja, kepatuhan pengusaha menggaji buruh sesuai standar minimum selalu ada di kisaran 49-57 persen.
Kondisi ini seharusnya dapat dihindari dengan mewajibkan perusahaan membayar upah sesuai struktur dan skala upah.
Baca Juga:
Daftar UMP 2024: Kenaikan Tertinggi Rp 221.000, Terendah Rp 36.000
Undang-Undang Cipta Kerja mengatur, pengusaha yang memberikan gaji di bawah upah minimum dikenai sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan/atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta. Namun, aturan ini nyatanya hanya pajangan di atas kertas.
Berulang kali, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluhkan minimnya jumlah pengawas ketenagakerjaan.
Pada 15 Juni 2020, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui, dalam hal pengawasan ketenagakerjaan kerap dihadapkan tantangan klasik, yakni jumlah pengawas ketenagakerjaan yang belum ideal jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang menjadi obyek pengawasan.
“Inovasi pengawasan dengan menggunakan piranti teknologi informasi bisa menjadi solusi meringankan kerja pengawasan yang lebih optimal dan lebih memudahkan partisipasi publik dalam pengawasan norma kerja,“ katanya kala itu.
Idealnya diperlukan 6.000 pengawas yang disebar di semua kabupaten/kota. Nyatanya, jumlah pengawas saat ini hanya 1.586 orang dan terpusat di Jakarta atau ibu kota provinsi.
Di sisi lain, masih banyak pekerja yang tidak berserikat sehingga posisi tawarnya lemah untuk memperjuangkan hak.
Ada pula yang tidak tahu bahwa dirinya berhak dan wajib dibayar sesuai UMP sehingga banyak kasus pelanggaran tidak diketahui dan berujung data statistik di BPS.
Kemiskinan
Padahal, upah minimum dapat menjadi instrumen efektif mencegah kemiskinan. Menurut laporan Global Wage Report 2020-2021, menyebutkan jika pengusaha patuh menjalankan upah minimum dan aturan itu diterapkan merata kepada semua kelompok pekerja, tingkat kemiskinan dan kesenjangan dapat berkurang signifikan.
"Apalagi jika diterapkan sesuai struktur dan skala upah," tulis laporan tersebut.
Perdebatan perlu tidaknya menaikkan upah minimum sedang menjadi polemik global. Pandangan tradisional menilai, kenaikan upah dapat membebani pelaku usaha, menggerus lapangan kerja, dan mendorong pengangguran.
Konsumen juga bisa rugi karena biaya ekstra untuk upah dikompensasikan pada harga barang/jasa yang dihasilkan.
Namun, pandangan baru mendebat itu dan menempatkan kenaikan upah sebagai bentuk investasi yang akan mendorong konsumsi, menarik investasi, dan menggerakkan ekonomi.
Saat krisis, upah minimum layak justru diperlukan.
Jika warga tidak punya cukup uang untuk membeli kebutuhan hidup, konsumsi tertahan dan ekonomi sulit pulih.
Terlebih di negara yang mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai penggerak ekonomi.
Tentu saja, besarannya harus tetap proporsional, sesuai dengan kebutuhan riil buruh dan kondisi perekonomian setempat.
Kenaikan upah minimum yang layak dan proporsional, diiringi penguatan instrumen pengawasan dan penegakan sanksi, akan menopang pemulihan ekonomi yang lebih berkualitas. [rin]