WahanaNews.co | Seorang warga bernama Lay Efina dikenai denda Rp 51 juta lantaran gudang tokonya di Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat, disebut memiliki KWH (kilo watt per hour) meter dengan segel palsu.
"Saya dikenai denda Rp 51 juta, pihak PLN menvonis bahwa segel meteran saya tidak asli alias palsu," kata Efina melansir Kompas.com, Kamis (27/10/2022).
Baca Juga:
Bukan Budaya Manokwari, Hentikan Cara-cara Penyampaian Aspirasi atau Protes dengan Memalang Jalan Raya
Efina berkeberatan dengan denda tersebut. Sebab, selama delapan tahun menggunakan gudang tersebut, ia mengaku tidak pernah mengutak-atik meteran tersebut. "Meteran sudah terpasang dari dulu.
Selama delapan tahun sering petugas PLN periksa meteran, selalu didampingi dan tidak pernah ada masalah pada meteran," ungkap Efina.
Selain itu, Efina juga mencurigai gelagat petugas pemeriksa dari PLN yang disebutnya memeriksa tanpa izin beberapa hari sebelum vonis denda terbit.
Baca Juga:
Protes Aturan Lockdown, Warga China Minta Presiden Xi Jinping Mundur
"Pada 22 September 2022, petugas PLN masuk ke gudang saya tanpa izin dan di samping ke gudang saya ada (kamera) CCTV," kata dia.
Kemudian Efina pun mengajukan surat berkeberatan kepada PLN terkait keadaannya. "Dalam rapat tidak membahas bukti CCTV saya, kami sangat kecewa sekali. Malah membahas segel meteran bermasalah. Orang awam tidak mengerti segel meteran, yang bisa mengerti segel asli dan palsu hanya pihak PLN sendiri, apakah adil?" ungkap dia.
Tanggapan PLN
Manajer PLN Bandengan, Jakarta, Roxy merespons keluhan Efina tersebut. Menurut Roxy, keluhan tersebut telah dibahas dalam rapat.
Roxy menjelaskan, Efina terjaring penertiban penggunaan listrik yang tidak semestinya, sehingga dikenai denda Rp 51 juta.
"Yang terjadi, secara rutin melakukan penertiban penggunaan listrik ilegal atau tidak semestinya. Saat itu terjaringlah pelanggan tersebut, lalu berproses hingga ke tagihan susulan. Pelanggan tersebut berkeberatan dengan denda Rp 51 juta, lalu mengajukan keberatan," jelas Roxy saat dihubungi, Jumat (28/10/2022).
Audiensi kemudian dilakukan dalam rapat yang dihadiri tim dari PLN dan Ditjen Ketenagalistrikan. Dalam rapat itu dijelaskan bahwa denda Rp 51 juta berasal dari perhitungan akibat pelanggaran yang masuk golongan 2.
"Diputuskan bahwa pelanggarannya masuk golong 2 atau P2, artinya memengaruhi alat ukur. Barang buktinya, di alat ukur terdapat goresan, di angka meter dan di piringannya terdapat goresan. Karena hal tersebut maka dimasukan kategori golongan 2," ujar Roxy.
Kemudian, PLN juga melakukan pembuktian dengan mengecek sejumlah meteran tetangga Efina.
"Apabila segel pelanggan tidak sama dengan pelanggan sekitar, maka keberatan ditolak," jelas Roxy.
Namun, pengambilan sampel meteran ini dikeluhkan Efina karena tidak ada pihaknya yang diajak, hanya tim PLN saja.
"Sampel (meteran) diambil berdasarkan hasil putusan tim keberatan. Pelanggan tidak diajak karena sesuai aturan. Itu bagian proses P2PL," ungkap Roxy.
Hasilnya akhirnya, Roxy menyebutkan bahwa sampel meteran tetangga berbeda dengan milik Efina.
Sehingga, Efina harus tetap membayar Rp 51 juta. "Akhirnya hasilnya ditolak, sehingga pelanggan harus membayar Rp 51 juta," ungkap dia.
Sementara itu, terkait petugas pemeriksa meteran yang disebut datang tanpa ditemani pemilik rumah, Roxy menjelaskan bahwa petugas telah diperiksa secara lisan.
Hasilnya, petugas tersebut dinyatakan telah melakukan tugas sesuai prosedur operasional standar (SOP) PLN.
"Secara lisan sudah diperiksa, bukan pemeriksaan resmi. Tapi penelusuran ini hasilnya tidak ditemukan adanya pelanggaran SOP. Sebab, petugas membawa surat, memeriksa sesuai target, sebenarnya petugas juga permisi ke pekerja di sana. Ada di CCTV," pungkas Roxy. [tum]