Setidaknya kata dia, perlu ada inisiatif BPOM untuk menginisiasi sampling terhadap produk jadi, dengan cara meminta perusahaan farmasi mengirim contoh produk kepada BPOM untuk diperiksa.
"(Sayangnya) terkait dengan produksi yang ada di masyarakat, (BPOM) enggak pernah mengambil inisiasi untuk melakukan pengawasan atau controlling terutama obat sirup yang beredar. Ternyata temuan kita BPOM tidak melakukan itu," beber dia.
Baca Juga:
Polda Sulsel Tetapkan Tiga Tersangka Peredaran Kosmetik Berbahaya di Makassar
Lebih lanjut dia menuturkan, BPOM menjadi pihak yang paling bertanggung jawab selain perusahaan farmasi.
Sebab, lembaga tersebut merupakan leading sector di bidang pengawasan obat, sama seperti institusi Polri yang memberikan Surat Izin Mengemudi (SIM) bagi pengendara.
"Untuk izin (bahan baku obat) itu kan dari BPOM yang mengeluarkan. Selama ini mereka enggak ada pengawasan di situ, untuk impor-impor bahan baku untuk food grade atau down grade di bawah standar. Nah, itu kesalahan fatal utama," tegas Mufti.
Baca Juga:
Awas! 6 Produk Kosmetik Sulsel Terbukti Mengandung Merkuri
Sebagai informasi, BPOM disorot lantaran tingginya kasus gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak-anak di Indonesia diduga akibat cemaran etilen glikol (EG) dan di etilen glikol (DEG) dalam obat sirup batuk dan demam.
Berdasarkan penelurusan BPOM, ada perusahaan kimia biasa non pharmaceutical grade mengoplos zat pelarut tambahan bahan baku obat, propilen glikol, untuk dikirim ke perusahaan-perusahaan farmasi. Perusahaan kimia tersebut adalah CV Samudra Chemical.
Setelah dilakukan penelusuran, kandungan EG dan DEG dalam bahan baku obat itu bahkan mencapai 99 persen, sehingga diduga EG dan DEG murni yang dioplos dan dicampur dengan air.