WahanaNews.co, Jakarta – Kenaikan pajak hiburan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang berlaku mulai 2024.
Penetapan pajak barang dan jasa tertentu (PJBT) atau pajak hiburan sebesar 40-75 persen menuai banyak kritikan.
Baca Juga:
Wamenkeu Suahasil: Sektor Keuangan Jadi Game Changer Pembangunan Indonesia
Terkait pajak hiburan ini, ada perbedaan pendapat antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dengan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Melansir dari Kompas.com, Kamis (18/1/2024), lantas apa kata Luhut dan Kemenkeu soal besaran pajak hiburan ini?
Tak ada urgensi menaikkan pajak
Baca Juga:
Selenggarakan Forum Bakohumas, Kemenkeu Tekankan Langkah-langkah Pengelolaan Anggaran Jelang Akhir Tahun
Perlu diketahui, pajak ini diperuntukkan bagi beberapa beberapa jenis hiburan khusus, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa.
Luhut menyampaikan, pemerintah akan menunda penerapan pajak hiburan tersebut. Pihaknya juga sudah mengumpulkan beberapa instansi terkait guna membahas kenaikan tarif pajak tersebut.
"Ya memang kemarin saya justru sudah dengar itu dan saya langsung kumpulkan instansi terkait masalah itu, termasuk Pak Gubernur Bali dan sebagainya. Jadi kita mau tunda dulu saja pelaksanaannya," ujar Luhut dikutip dari Kompas.com, Rabu (17/1/2024).
Menurutnya, tidak melihat urgensi apa pun di balik kenaikan pajak hiburan. Apalagi, tempat hiburan tidak hanya terbatas pada diskotek, tetapi juga pedagang kecil yang turut berjualan minuman dan makanan.
"Saya kira saya sangat pro dengan itu dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ," ucap Luhut.
Bukan sesuatu yang baru
Terpisah, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lydia Kurniawati mengatakan, penerapan pajak hiburan bukan sesuatu yang baru. Pasalnya, penerapan tarif pajak tersebut sudah pernah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ia menjelaskan, perbedaan UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 adalah pengenaan tarif batas atas dan bawah.
Pada aturan lama, pemerintah tidak mengatur soal batas bawah pajak hiburan, namun menetapkan batas atas pajak hiburan sebesar 75 persen.
"PBJT ini bukan jenis pajak baru. Pada saat UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebelum UU HKPD, ini sudah ada. Dikenalnya dengan pajak hiburan," kata Lydia dikutip dari Kompas.com, Selasa (16/1/2024).
Alasan pemerintah terapkan pajak hiburan
Lydia menjelaskan, ada dua alasan pemerintah menetapkan pajak hiburan sebesar 40-75 persen. Pertama, pemerintah menetapkan batas bawah pajak hiburan untuk diskotek hingga spa karena termasuk jasa hiburan khusus. Pemerintah berpandangan, sektor tersebut tidak dinikmati oleh masyarakat secara umum. Atas dasar itu, perlu adanya perlakuan khusus terhadap diskotek hingga spa.
"Untuk mempertimbangkan rasa keadilan dalam upaya mengendalikan, dipandang perlu untuk menetapkan tarif batas bawahnya," jelas Lydia.
Sementara itu, pemerintah juga tidak ingin pemerintah daerah berlomba-lomba memberikan pajak hiburan yang rendah terhadap jasa hiburan khusus.
Jasa hiburan dan wisata sudah pulih
Lebih lanjut, Lydia juga merespons keluhan pelaku usaha yang mengaku belum sepenuhnya pulih setelah pandemi Covid-19.
Menurut Lydia, industri jasa hiburan dan wisata sebenarnya sudah pulih. Ini terlihat dari setoran pajak hiburan yang sudah mendekati level sebelum pandemi Covid-19.
"Kalau situasinya (disebut) belum pulih dari Covid, data kami sudah rebound pajak daerah dan hiburan," katanya dikutip dari Kompas.com, Rabu (17/1/2024). Ia menuturkan, ada kenaikan penerimaan negara dari pajak hiburan sebesar Rp 2,2 triliun pada 2023 setelah sempat menurun menjadi Rp 1,5 triliun pada 2022 dan Rp 477 miliar pada 2021.
[Redaktur: Tumpal Gultom]