WahanaNews.co | Tim Pencari Fakta (TPF) kasus gagal ginjal Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyebutkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa dikatakan telah lalai mengawasi obat sirup yang beredar di masyarakat.
Hal ini tercermin dengan adanya kasus gagal ginjal akut yang menewaskan 195 anak-anak, diduga karena mengonsumsi obat sirup mengandung zat kimia berbahaya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Baca Juga:
Polda Sulsel Tetapkan Tiga Tersangka Peredaran Kosmetik Berbahaya di Makassar
Ketua Tim Pencari Fakta BPKN, Mufti Mubarok mengatakan, pihaknya menemukan BPOM tidak melakukan pengawasan terkait izin edar perusahaan farmasi dan sebaran distribusi bahan baku obat sirup yang digunakan oleh perusahaan farmasi "nakal" selama 3 tahun terakhir.
"Audit kita 3 tahun terakhir enggak ada pengawasan sama sekali dalam konteks obat sirup ini," kata Mufti, beberapa waktu lalu.
"Dengan anggaran yang besar itu, enggak ada audit mereka terhadap sebaran distribusi, bahan baku, izin mereka. Artinya kan, kelalaian. Kalau begitu, berarti sistemik," sambung Mufti.
Baca Juga:
Awas! 6 Produk Kosmetik Sulsel Terbukti Mengandung Merkuri
Mufti menyampaikan, pengawasan BPOM tidak bisa hanya berhenti pada pemberian izin edar dan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) perusahaan farmasi.
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua BPKN ini menuturkan, perlu ada inisiatif BPOM untuk menginisiasi sampling terhadap produk jadi, dengan cara meminta perusahaan farmasi mengirim contoh produk kepada BPOM untuk diperiksa.
Sayangnya, hal ini luput dari kerja-kerja BPOM. Oleh karena itu, dia meminta lembaga pengawas obat dan makanan itu meminta maaf kepada masyarakat, terutama mereka yang menjadi korban gagal ginjal akut.
"Harus (minta maaf), karena ini kelalaian. Kalau satu orang meninggal mungkin enggak lalai, tapi kan ini sudah 200 lebih (kasusnya). Artinya terstruktur dan 28 provinsi penyebarannya di mana-mana," tegas Mufti.
Lebih lanjut, Mufti meminta BPOM bertanggung jawab tanpa tuding-menuding dengan pihak lain.
Saling lempar tanggung jawab
Sejauh ini, memang terjadi tuding-menuding antara BPOM dengan perusahaan farmasi yang masuk dalam lingkaran kasus gagal ginjal akut, seperti PT Yarindo Farmatama yang mengaku ditipu oleh distributor propilen glikol, dan CV Budiarta yang menduga bahwa BPOM memiliki skenario jahat.
BPOM juga sempat menyeret nama Kementerian Perdagangan (Kemendag) perihal impor senyawa kimia propilen glikol dan polietilen glikol. Keduanya merupakan barang impor yang tidak diatur regulasi impornya alias bebas (non larangan dan pembatasan/lartas).
Namun tudingan itu dibalas Kemendag dengan menyatakan bahwa pemeriksaan pada bahan baku pharmaceutical grade yang masuk dalam kategori larangan dan pembatasan (lartas) adalah wewenang BPOM.
"Kemudian menyalahkan, kan enggak bisa. Apalagi Kemendag enggak ada hubungan dengan ini. Kemendag (hanya untuk impor) yang umum-umum, tapi izin khusus (bahan baku obat) ada di BPOM," jelas dia.
Sebagai informasi, BPOM disorot lantaran tingginya kasus gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak-anak di Indonesia diduga akibat cemaran etilen glikol (EG) dan di etilen glikol (DEG) dalam obat sirup batuk dan demam.
Berdasarkan penelurusan BPOM, ada perusahaan kimia biasa non pharmaceutical grade mengoplos zat pelarut tambahan bahan baku obat, propilen glikol, untuk dikirim ke perusahaan-perusahaan farmasi. Perusahaan kimia tersebut adalah CV Samudra Chemical.
Setelah dilakukan penelusuran, kandungan EG dan DEG dalam bahan baku obat itu bahkan mencapai 99 persen, sehingga diduga EG dan DEG murni yang dioplos dan dicampur dengan air.
CV Samudera merupakan supplier dari CV Anugerah Perdana Gemilang. CV Anugrah Perdana Gemilang merupakan pemasok utama untuk CV Budiarta. CV Budiarta adalah pemasok propilen glikol yang terbukti tidak memenuhi syarat ke farmasi PT Yarindo Farmatama.
CV Anugrah Perdana Gemilang juga diduga pemasok untuk PT Tirta Buana Kemindo (PT TBK), kemudian didistribusikan ke perusahaan farmasi PT AFI Farma dan PT Ciubros Farma.
Kepala BPOM Penny K. Lukito pada minggu lalu menyatakan, bahan baku oplosan ini merupakan perbuatan ilegal di luar pengawasan BPOM.
Pun bukan tanggung jawab BPOM melakukan pengawasan mengingat industri tersebut tidak pernah mendapat izin terkait pemenuhan CDOB.
"Bukan tanggung jawab BPOM untuk melakukan pengawasan. Kalau ini dalam pengawasan BPOM, ini enggak akan pernah dapat izin karena ini tidak memenuhi cara distribusi obat yang baik (CDOB)," kata Penny dalam konferensi pers di Tapos, Depok, Rabu (9/11/2022).
"Tentunya kalau diawasi BPOM, proses-proses pengoplosan dan ini pasti sudah ketahuan jauh-jauh (hari), dulu ya," sambung Penny. [rds]