WAHANANEWS.CO - Kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berpotensi menghantam sektor-sektor utama di Thailand, dengan estimasi kerugian mencapai 800 miliar baht atau sekitar US$24 miliar (setara Rp392 triliun).
Sektor yang terdampak meliputi industri otomotif, makanan olahan, hingga pertanian. Nilai kerugian itu setara sekitar 4 persen dari produk domestik bruto (PDB) Thailand, yang diperkirakan mencapai 19,8 triliun baht pada 2024.
Baca Juga:
Gempa Myanmar: 15 Korban Diduga Masih Hidup di Bawah Reruntuhan Gedung
Jika kebijakan ini terealisasi, kondisi ekonomi Thailand yang tahun lalu hanya tumbuh 2,5 persen dan diperkirakan tumbuh antara 2,3–3,3 persen pada 2025, akan semakin tertekan.
Saat ini Thailand dikenakan tarif impor sebesar 36 persen oleh AS. Dalam masa penangguhan 90 hari yang diberikan, pemerintah Thailand tengah bernegosiasi dengan Washington guna meminimalkan dampaknya.
Ketua Federasi Industri Thailand (FTI), Kriengkrai Thiennukul, memprediksi tarif balasan AS akan berada pada kisaran 10–15 persen, namun ia menekankan bahwa kebijakan tarif AS jauh lebih kompleks.
Baca Juga:
Kesehatan Paus Fransiskus Membaik, Panjatkan Doa Untuk Myanmar, Thailand, dan Korsel
"Kerangka tarif yang sebenarnya diumumkan oleh AS lebih dari sekadar perhitungan timbal balik. Pendekatan ini tidak hanya menggabungkan perbedaan tingkat tarif tetapi juga hambatan non-tarif, hambatan yang menghambat perdagangan tanpa mengambil bentuk pajak langsung," ujar Kriengkrai, dikutip dari Nikkei Asia pada Rabu (07/05/2025).
Dengan pendekatan sederhana, Kriengkrai memperkirakan potensi kerugian bisa mencapai antara 700 hingga 800 miliar baht. Ia menambahkan bahwa analisis lebih mendalam masih dibutuhkan untuk mengukur dampak sesungguhnya. FTI sendiri mewakili sekitar 16.000 perusahaan dari berbagai sektor.
Thailand merupakan basis manufaktur regional dengan ekspor menyumbang lebih dari 60 persen PDB. AS menjadi salah satu mitra dagang utama, dengan nilai ekspor mencapai US$55 miliar tahun lalu.