WahanaNews.co, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa produsen kendaraan listrik dari China sedang khawatir dengan kebijakan terbaru Amerika Serikat (AS) yang menaikkan tarif impor kendaraan listrik hingga 100 persen.
Menurut Syahroni Ahmad, Direktur Akses Sumber Daya Industri dan Promosi Internasional Kemenperin, kebijakan ini membuat banyak produsen kendaraan listrik asal China berusaha memindahkan produksi mereka ke negara lain, termasuk Indonesia dan Turki.
Baca Juga:
Pertumbuhan Pesat Mobil Listrik di Indonesia: Saingi Thailand, Lewati Jepang!
"Produsen utama kendaraan listrik dari China merasa tertekan karena kebijakan tersebut, sehingga mereka mulai memindahkan produksi ke negara lain seperti Turki dan Indonesia," ujar Roni di Kantor Kemenperin, Jakarta Selatan, Jumat (12/7/2024).
Roni juga menyebutkan bahwa selain China, beberapa negara seperti Korea Selatan dan Jepang juga aktif dalam membangun ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
"Korea Selatan, contohnya Hyundai, sedang berencana untuk mendirikan pusat pengujian baterai EV yang dapat digunakan kembali di Indonesia," tambahnya.
Baca Juga:
Terus Perkuat Ekosistem EV, Komisi VII DPR RI Apresiasi Kinerja PLN
Lebih lanjut, Roni menginformasikan bahwa perusahaan dari Taiwan akan segera membuka pabrik baterai mobil listrik di Batam, Kepulauan Riau, dengan rencana peluncuran pada Agustus 2024.
"Semoga pada bulan September pabrik tersebut sudah mulai beroperasi. Peluncurannya akan dihadiri oleh Menperin, dan pabrik ini akan fokus pada daur ulang baterai, mengubahnya menjadi bubuk hitam untuk mengekstrak kobalt dan litium yang kemudian dijual kembali ke produsen baterai," jelasnya.
Sebelumnya, Pemerintah AS mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif bagi kendaraan listrik, semikonduktor, peralatan tenaga surya, dan peralatan medis yang diimpor dari China dalam waktu dekat.
Seperti dilaporkan oleh Reuters pada Minggu (12/5/2024), tarif khusus untuk kendaraan listrik dari China dapat meningkat dari 25 persen menjadi 100 persen.
Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap penurunan harga mobil listrik China yang mengancam industri otomotif lokal, dan negara-negara industri termasuk AS dan sekutunya di Eropa khawatir akan dampak negatif dari ekspor China yang murah terhadap produksi domestik mereka.
Pemerintah AS juga khawatir bahwa produk energi ramah lingkungan dari China dapat merusak investasi besar-besaran dalam teknologi ramah lingkungan mereka.
Namun, rincian lengkap mengenai tarif ini dan sektor-sektor yang akan terpengaruh masih belum jelas, dan Gedung Putih belum memberikan komentar lebih lanjut.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri China mengkritik tarif baru AS sebagai gangguan serius pada hubungan ekonomi dan perdagangan antara kedua negara, serta meminta Washington untuk membatalkan kebijakan tersebut.
"Bukan memperbaiki praktik yang salah, AS malah terus memolitisasi masalah ekonomi dan perdagangan. Menaikkan tarif lebih lanjut hanya akan menambah kerugian," kata Lin Jian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]