"Amerika harus bertanya, apakah kita benar-benar merawat semua anak dengan baik?" kata Turner.
Menurut ibunya, Carmen Cruz, Ortiz telah menunjukkan tanda-tanda disleksia sejak kecil. Keluarganya pindah dari Puerto Rico ke Connecticut demi pendidikan yang lebih baik, tetapi kondisinya tidak membaik.
Baca Juga:
Tingkatkan Kualiatas Pendidikan, PTAR Kucurkan Rp1,45 Miliar untuk Pembangunan Infrastruktur Sekolah
Sejak kelas satu, ia mengalami kesulitan mengenali huruf dan angka. Saat kelas enam, hasil tes akademiknya menunjukkan bahwa tingkat membaca Ortiz setara dengan anak taman kanak-kanak. Meski demikian, sekolah tetap memindahkannya ke jenjang berikutnya tanpa intervensi yang memadai.
Di sekolah menengah, guru pembimbingnya, Tilda Santiago, diduga sering melecehkannya secara verbal, meremehkannya di depan siswa lain, dan menertawakannya karena disleksia. Setelah melaporkan kejadian tersebut, Santiago akhirnya dipecat.
Memasuki tahun terakhirnya, beberapa guru menyarankan Ortiz untuk menjalani tes disleksia. Hasilnya menunjukkan bahwa ia membutuhkan pengajaran fonetik dasar yang seharusnya sudah diajarkan sejak taman kanak-kanak. Ia juga didiagnosis dengan ADHD, gangguan kecemasan, gangguan komunikasi, serta gangguan pembangkangan oposisi (ODD).
Baca Juga:
NU Haramkan Hukuman Kekerasan di Lembaga Pendidikan
Meski buta huruf, Ortiz berhasil masuk Universitas Connecticut dengan bantuan teknologi. Ia mengandalkan aplikasi teks-ke-ucapan dan ucapan-ke-teks untuk mengerjakan tugas kuliah dan menulis esai.
"Aplikasi ini memberi saya suara yang tidak pernah saya duga akan saya miliki," ungkapnya.
Untuk menyelesaikan tugas sekolah, ia harus merekam ceramah di kelas, mengubahnya menjadi teks di laptop, mencari arti kata-kata baru, lalu mengonversinya kembali ke audio agar bisa memahami materi. Dengan metode ini, nilai-nilainya meningkat dari C dan D menjadi A dan B.