WahanaNews.co | Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) mewanti-wanti negara-negara di Asia berisiko senasib dengan Sri Lanka, yang menghadapi krisis ekonomi terburuk.
"Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan yang terbatas akan menghadapi tekanan tambahan. Lihatlah Sri Lanka sebagai tanda peringatan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgiev, dikutip Senin (18/7/2022) sebagaimana dilansir BBC.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Dia mengatakan negara-negara berkembang juga telah mengalami arus keluar modal yang berkelanjutan selama empat bulan berturut-turut.
Kondisi ini menempatkan impian mereka untuk mengejar ekonomi maju dalam bahaya. Terlebih mengingat meningkatnya tantangan global, seperti lonjakan inflasi dan kenaikan suku bunga, depresiasi mata uang, tingginya tingkat utang dan berkurangnya cadangan mata uang asing.
Berikut negara-negara Asia lainnya yang dikhawatirkan tampaknya berada pada lintasan yang sama dengan Sri Lanka menurut IMF.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
1. Laos
Negara Asia Timur, yang terkurung daratan berpenduduk lebih dari 7,5 juta orang, menghadapi risiko gagal bayar pinjaman luar negerinya selama beberapa bulan.
Sekarang, kenaikan harga minyak karena invasi Rusia ke Ukraina menambah tekanan pada pasokan bahan bakarnya, dan mendorong kenaikan harga makanan di negara yang sepertiga penduduknya diperkirakan hidup dalam kemiskinan.
Media lokal telah melaporkan antrean panjang untuk bahan bakar dan beberapa rumah tangga tidak mampu membayar tagihan mereka.
Mata uang Laos, kip, telah jatuh dan turun lebih dari sepertiga terhadap dolar AS tahun ini. Suku bunga yang lebih tinggi di AS telah memperkuat dollar dan melemahkan mata uang lokal, sehingga meningkatkan beban utang mereka dan membuat impor lebih mahal.
Bank Dunia mengatakan negara itu memiliki cadangan 1,3 miliar dollar AS per Desember tahun lalu. Tetapi total kewajiban utang luar negeri tahunannya nyaris sama jumlahnya hingga tahun 2025, atau hampir setara dengan setengah total pendapatan domestiknya.
Utang publik Laos berjumlah 88 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2021, menurut Bank Dunia, dengan hampir setengah dari angka itu berutang ke China.
Akibatnya, Moody's Investor Services menurunkan peringkat negara yang diperintah komunis menjadi "junk" bulan lalu, kategori di mana utang dianggap berisiko tinggi.
2. Pakistan
Harga bahan bakar di Pakistan naik sekitar 90 persen sejak akhir Mei, setelah pemerintah mengakhiri subsidi bahan bakar. Langkah itu terpaksa diambil untuk mengendalikan pengeluaran di tengah negosiasi program bailout lanjutan dari IMF.
Ekonomi Pakistan sedang berjuang dengan kenaikan harga barang. Pada Juni, tingkat inflasi tahunan mencapai 21,3 persen, tertinggi dalam 13 tahun.
Seperti Sri Lanka dan Laos, Pakistan juga menghadapi penyusutan cadangan mata uang asing hingga hampir setengah dari total sejak Agustus tahun lalu.
Pemerintahnya telah memberlakukan pajak 10 persen pada industri skala besar selama satu tahun, untuk mengumpulkan 1,93 miliar dollar AS. Tujuannya untuk mencoba mengurangi kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah - salah satu tuntutan utama IMF.
"Jika mereka dapat mengumpulkan dana ini, pemberi pinjaman keuangan lainnya seperti Arab Saudi dan UEA (Uni Emirat Arab) mungkin bersedia memberikan kredit," Andrew Wood, analis S&P Global Ratings mengatakan kepada BBC.
Bulan lalu, seorang menteri senior di pemerintahan Pakistan meminta warganya untuk mengurangi jumlah teh yang mereka minum untuk memotong tagihan impor negara itu.
Pinjaman China sekali lagi memainkan peran di sini, dengan Pakistan dilaporkan berutang lebih dari seperempat utangnya ke Beijing.
3. Maladewa
Maladewa telah melihat utang publiknya membengkak dalam beberapa tahun terakhir dan sekarang jauh di atas 100 persen dari PDB-nya.
Seperti Sri Lanka, pandemi menghantam ekonomi negara kepulauan yang sangat bergantung pada pariwisata ini.
Negara-negara yang sangat bergantung pada pariwisata cenderung memiliki rasio utang publik yang lebih tinggi, tetapi Bank Dunia mengatakan negara kepulauan itu sangat rentan terhadap lonjakan harga bahan bakar karena ekonominya tidak terdiversifikasi.
Bank investasi AS JPMorgan mengatakan bahwa negara tujuan liburan itu berisiko gagal bayar utangnya pada akhir 2023.
4. Bangladesh
Inflasi Bangladesh pada Mei menyentuh 7,42 persen, level tertinggi dalam 8 tahun.
Dengan cadangan mata uang asing yang semakin menipis, pemerintahnya telah bertindak cepat untuk mengekang impor yang tidak penting.
Pemerintahan Presiden Abdul Hamid juga melonggarkan aturan untuk menarik pengiriman uang dari jutaan imigran yang tinggal di luar negeri, dan mengurangi perjalanan ke luar negeri bagi para pejabat.
Kepada BBC, analis kedaulatan di S&P Global Ratings Kim Eng Tan mengatakan negara dengan defisit transaksi berjalan - seperti Bangladesh, Pakistan dan Sri Lanka - pemerintah menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan subsidi.
Pakistan dan Sri Lanka telah meminta bantuan keuangan kepada IMF dan pemerintah lainnya.
Namun "Bangladesh (masih) harus kembali memprioritaskan pengeluaran pemerintah dan memberlakukan pembatasan aktivitas konsumen," katanya.
Jeratan utang
Naiknya harga pangan dan energi mengancam ekonomi dunia yang dilanda pandemi.
Sekarang negara-negara berkembang, yang meminjam banyak selama bertahun-tahun, mendapati bahwa fondasi ekonomi yang lemah membuat mereka sangat rentan terhadap gelombang kejut global.
China telah menjadi pemberi pinjaman yang dominan untuk beberapa negara berkembang ini dan mungkin dapat mengendalikan nasib mereka secara krusial.
Masalahnya, tidak jelas seperti apa kondisi pinjaman Beijing sekarang, atau bagaimana mereka dapat merestrukturisasi utang.
Kesalahan China, menurut Alan Keenan dari International Crisis Group adalah mendorong dan mendukung proyek infrastruktur mahal, yang belum menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar.
"Yang sama pentingnya adalah dukungan politik aktif mereka untuk keluarga Rajapaksa yang berkuasa dan kebijakannya...Kegagalan politik ini adalah jantung dari keruntuhan ekonomi Sri Lanka,” dia mencontohkan. [rin]